Hingga akhir bulan Juli tahun ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Banda Aceh melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Banda Aceh, telah berhasil menangani sebanyak 56 kasus yang terkait dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) serta pelanggaran hak anak.
Dari total kasus tersebut, sebanyak 43 kasus KDRT melibatkan perempuan sebagai korban, sementara 13 kasus lainnya terkait pelanggaran hak anak.
Menurut Kepala DP3AP2KB Banda Aceh, yang juga menjabat sebagai Kepala UPTD PPA Kota Banda Aceh, Nurmiati SP MKM, penanganan kasus KDRT dan pemenuhan hak anak melibatkan enam fungsi pelayanan.
Fungsi-fungsi ini mencakup pengaduan masyarakat, penjangkauan korban, pengelolaan kasus, penampungan sementara, mediasi, dan pendampingan terhadap korban.
“Kami melakukan penanganan kasus secara sistematis, dengan harapan setiap kasus yang terjadi dapat diselesaikan dengan hasil yang optimal,” ujar Nurmiati di Kantor UPTD PPA Kota Banda Aceh
Ia juga menekankan bahwa pengaduan terkait kasus KDRT tidak hanya harus berasal dari korban, tetapi juga bisa diajukan oleh pihak kantor desa, tetangga, bahkan pihak rumah sakit.
Rumah sakit, kata Nurmiati, pernah melaporkan kasus-kasus setelah melihat tanda-tanda kekerasan pada pasien dan melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Dalam penanganan kasus, UPTD PPA berusaha memberikan perawatan psikologis kepada korban dan menyediakan tempat penampungan sementara yang bersifat rahasia.
Selain itu, mereka juga mencoba mediasi antara kedua belah pihak melalui pendekatan restorative justice, di mana para pihak berusaha mencapai kesepakatan yang memperhatikan kepentingan masa depan.
Nurmiati juga menjelaskan pentingnya pengambilan keputusan yang rasional dalam menangani kasus KDRT dan pemenuhan hak anak. Ia menyoroti bahwa pengambilan keputusan yang emosional cenderung tidak menghasilkan solusi yang terbaik.
“Kita harus mempertimbangkan dampak jangka panjang, dan dengan perjanjian tertulis, kita berharap untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan,” tambahnya.
Pihak UPTD PPA Kota Banda Aceh juga mengkoordinasikan perawatan fisik korban KDRT melalui puskesmas setempat. Jika kondisi korban melebihi kapasitas puskesmas, mereka akan dirujuk ke rumah sakit tingkat kabupaten atau kota.
Untuk kasus kekerasan seksual, Nurmiati menekankan bahwa penyelesaian harus melalui jalur hukum karena dampaknya yang serius pada masa depan korban. Mediasi atau pendekatan restorative justice tidak berlaku dalam kasus semacam ini.
Sementara itu, Nurmiati juga mencatat bahwa penyelesaian kasus pemenuhan hak anak sering kali menemui hambatan, terutama karena kurangnya pemahaman orang tua tentang tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka.
Pemenuhan hak anak seharusnya menjadi prioritas orang tua, tetapi seringkali terabaikan karena kurangnya pemahaman.
Terakhir, Nurmiati menggarisbawahi bahwa KDRT tidak hanya melibatkan pria sebagai pelaku terhadap perempuan.
Kasus sebaliknya, yaitu KDRT dari perempuan terhadap laki-laki, juga terjadi. Dalam situasi seperti itu, UPTD PPA Kota Banda Aceh tetap memberikan dukungan kepada perempuan pelaku tanpa membenarkan tindakan mereka.
Mereka berupaya memberikan pemahaman kepada perempuan tersebut dan membantu mereka mengendalikan emosi demi kebaikan hubungan pernikahan mereka ke depan.[Adv]