Habanusantara.net, Di tengah derasnya arus digital dan maraknya hiburan instan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA) kembali menghidupkan semangat literasi di kalangan pelajar lewat sebuah lomba yang menggugah daya pikir dan kreativitas. DPKA menggelar Lomba Pembuatan Resensi Buku berbasis koleksi perpustakaan, yang diikuti oleh siswa SMA dan sederajat dari berbagai daerah di Aceh, Acara itu digelar di Aula Mall Baca Aceh, Senin (19/5/2025).
Acara ini bukan hanya tentang siapa yang bisa menulis terbaik, tetapi juga menjadi medan uji ketajaman nalar, kepekaan membaca, dan kemampuan menyampaikan gagasan. Di tengah wajah-wajah muda yang tampak serius namun penuh semangat, Kepala DPKA, Edi Yandra, membuka kegiatan secara resmi sekaligus memberikan semacam suntikan motivasi kepada para peserta.
“Jika buku adalah jendela dunia, maka membaca adalah kuncinya, dan meresensi merupakan refleksi intelektual dari proses membaca itu sendiri,” ujar Edi dalam sambutannya yang disambut tepuk tangan hangat.
Dengan gaya bertutur yang lugas dan menyentuh, Edi menjelaskan bahwa lomba ini bukan sekadar kompetisi untuk meraih juara. Lebih dari itu, ia berharap kegiatan ini menjadi bagian dari gerakan besar menumbuhkan budaya literasi di tengah generasi muda Aceh yang kini hidup dalam era serba cepat.
“Meresensi bukan sekadar meringkas. Ia adalah proses memahami, menganalisis, lalu menyampaikan kembali isi bacaan dengan bahasa dan pemahaman sendiri. Di situlah letak proses berpikir kritis terbentuk,” tambahnya.
DPKA tak sendiri dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Lomba resensi ini merupakan hasil kolaborasi strategis dengan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, sejalan dengan agenda besar Gerakan Nasional Literasi. Kolaborasi ini menjadi bukti bahwa literasi bukan hanya tanggung jawab satu pihak, tapi kerja bersama demi masa depan bangsa.
Tercatat puluhan peserta dari berbagai sekolah menengah atas dan madrasah aliyah di seluruh Aceh hadir membawa karya terbaik mereka. Setiap karya resensi mereka berdasarkan buku-buku yang ada dalam koleksi Perpustakaan DPKA, yang menampilkan ragam tema — mulai dari sejarah lokal, novel klasik, hingga buku-buku inspiratif bertema kepemudaan.
Aura kompetisi memang terasa, tapi bukan dalam suasana yang tegang. Para peserta justru tampak santai dan penuh semangat, saling bertukar pandangan seputar buku dan proses kreatif menulis. Sebuah suasana yang jarang terlihat di era dominasi konten singkat dan viral.
“Melalui lomba ini, kami ingin membentuk pelajar yang tidak hanya gemar membaca, tetapi juga mampu menyampaikan gagasan secara tertulis dengan baik dan bernas,” terang Edi. Baginya, keberanian menulis adalah awal dari perubahan besar. Karena dari tulisan, pemikiran bisa menyebar, membentuk opini, bahkan menggerakkan perubahan sosial.
Bagi sejumlah peserta, lomba ini merupakan pengalaman pertama menulis resensi secara formal. Namun bagi sebagian lainnya, kegiatan ini menjadi semacam batu loncatan untuk meniti minat dan bakat di bidang literasi.
Fadila, siswi kelas XI dari SMAN 1 Bireuen, mengaku sempat ragu mengikuti lomba ini karena merasa kurang percaya diri. Tapi setelah membaca buku “Cahaya di Ujung Lorong” dari koleksi perpustakaan daerah, ia mulai menuliskan kesan dan pemikirannya.
“Aku jadi sadar, setiap buku menyimpan dunia baru. Dan menulis resensi itu seperti membuka pintu agar orang lain bisa ikut masuk ke dalam dunia yang sama,” ujar Fadila, dengan mata berbinar.
Hal senada juga disampaikan Rahmat, siswa MAN 2 Banda Aceh, yang meresensi buku sejarah tentang Aceh di masa kolonial. “Saya jadi tahu banyak tentang asal-usul daerah saya sendiri. Nulis resensinya susah-susah gampang, tapi sangat seru,” katanya.
DPKA memang sedang mendorong Mall Baca Aceh menjadi pusat literasi yang lebih inklusif dan aktif. Dengan menggelar kegiatan seperti lomba ini, mereka berharap bisa mengubah citra perpustakaan dari tempat yang sunyi dan membosankan menjadi ruang publik yang hidup, dialogis, dan kreatif.
Menjelang siang, suasana aula semakin semarak. Satu per satu peserta mempresentasikan resensi mereka di hadapan dewan juri. Wajah-wajah muda itu berdiri dengan percaya diri, menyampaikan hasil bacaannya dengan gaya bahasa yang beragam — ada yang lugas, ada pula yang puitis. Tapi semua menyiratkan satu hal yang sama: gairah untuk berpikir dan menyampaikan ide secara terbuka.
Edi Yandra menutup sesi pembukaan dengan harapan sederhana namun mendalam. “Setiap karya resensi yang dihasilkan merupakan bukti bahwa generasi muda Aceh memiliki potensi besar di bidang literasi. Tinggal bagaimana kita bersama-sama menumbuhkan, membimbing, dan merawat semangat itu.”
Melalui lomba ini, DPKA ingin menegaskan bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis. Tapi tentang membentuk karakter, membangun keberanian untuk berpikir, dan melatih kepekaan terhadap realitas. Di tengah riuh rendah zaman, inisiatif seperti ini adalah napas segar yang sangat dibutuhkan.[Adv]