Habanusantara.net –Di Aceh, perpustakaan bukan lagi sekadar bangunan sunyi yang dipenuhi rak buku berdebu. Di tangan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), tempat ini menjelma menjadi senjata rahasia dalam melawan kemiskinan.
Melalui penguatan literasi yang inklusif dan berbasis pada kebutuhan masyarakat, DPKA mendorong transformasi perpustakaan menjadi pusat pemberdayaan sosial dan ekonomi. Literasi, bagi Kepala DPKA Edi Yandra, bukan cuma tentang bisa membaca—tapi tentang membuka jalan keluar dari keterbatasan menuju kehidupan yang lebih layak.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), Edi Yandra mengatakan penguatan literasi menjadi salah satu aspek penting dalam upaya pengurangan angka kemiskinan, termasuk di Tanoh Rencong. Menurutnya literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tapi merupakan jembatan menuju kehidupan yang lebih layak dan sejahtera.
Pernyataan itu disampaikannya dalam kegiatan Bimbingan Teknis dan Sosialisasi Program Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, di Aula Layanan Perpustakaan DPKA, Senin (29/4/2025).
“Literasi bukan hanya hak dasar, tapi juga alat strategis dalam mengatasi kemiskinan yang masih membelenggu sebagian masyarakat kita,” ujarnya.
Edi menuturkan, perpustakaan masa kini bukan lagi sekadar tempat menyimpan buku, melainkan rumah belajar bagi siapa saja yang ingin memperbaiki nasibnya. Ia menyebutkan bahwa literasi dewasa berdampak lebih luas daripada pendidikan formal, karena menyasar langsung akar persoalan keterbelakangan dan ketimpangan.
“Perpustakaan bisa menjadi pusat inovasi masyarakat. Di sana, warga tidak hanya membaca, tapi juga belajar, berkarya, bahkan berwirausaha. Transformasi perpustakaan harus menjangkau hingga ke gampong-gampong,” lanjut Edi.
Ia menegaskan bahwa perpustakaan inklusif adalah perpustakaan yang hidup dan tumbuh bersama masyarakat. Bukan hanya menyajikan bacaan, tetapi juga menjadi tempat lahirnya keterampilan baru, solusi atas masalah lokal, dan peluang ekonomi yang lebih baik.
Karena itu, sambung Edi, perluasan transformasi perpustakaan ke tingkat kabupaten/kota dan gampong, menjadi salah satu upaya nyata untuk memperluas program serta mendekatkan akses informasi bagi masyarakat, memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadikan perpustakaan sebagai pusat berkegiatan bagi masyarakat.
“Program ini bertujuan membangun koneksi antarmasyarakat, membentuk ruang berbagi ide dan kreativitas. Inilah bentuk literasi yang nyata: berdampak dan memberdayakan,” tegasnya.
Aceh sendiri, melalui DPKA, telah menjadi mitra program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial sejak 2018. Kini, program tersebut telah menyentuh 23 kabupaten/kota hingga ke perpustakaan desa, menjadikan Aceh sebagai salah satu pelopor literasi inklusif di Indonesia.
Namun, Edi menyadari bahwa cita-cita besar ini tak akan terwujud tanpa dukungan semua pihak.
“Kami mengajak para pemangku kebijakan untuk ikut mendorong transformasi ini. Perpustakaan harus menjadi pusat belajar masyarakat yang berbasis teknologi dan kebutuhan zaman,” serunya.
Lebih jauh, ia menekankan pentingnya peningkatan kapasitas SDM pengelola perpustakaan, agar mampu memberikan layanan yang prima dan relevan di era digital.
Pelatihan ini diikuti 50 peserta yang berasal dari pengelola perpustakaan gampong di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar, serta dihadiri oleh pelatih ahli dan para pejabat struktural dan fungsional DPKA.[Adv]