Habanusantara.net– Di tengah gempuran layar sentuh dan hiburan serba digital, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA) hadir dengan pendekatan yang nyaris klasik namun terasa segar: membawa buku langsung ke halaman sekolah.
Lewat program “Pustaka Keliling Goes to School”, DPKA memilih untuk melawan arus dengan cara yang bersahaja—mengajak anak-anak kembali jatuh cinta pada dunia membaca lewat tumpukan buku, bukan notifikasi.
Sabtu pagi, 26 April 2025, halaman SD Negeri 66 Kota Banda Aceh mendadak ramai. Bukan karena ada bazar atau pentas seni, tapi karena sebuah truk berwarna cerah berhenti di tengah lapangan sekolah. Truk itu bukan sembarang truk.
Ia adalah ‘perpustakaan berjalan’ milik DPKA yang membawa puluhan hingga ratusan buku—dari cerita rakyat, ensiklopedia mini, hingga novel anak dan buku bergambar. Ketika pintunya dibuka, murid-murid langsung menyerbu dengan antusias yang lebih mirip suasana antre wahana bermain ketimbang kunjungan perpustakaan.
“Begitu kami buka pintu truk, anak-anak langsung menyerbu, memilih buku-buku kesukaan mereka. Antusiasme mereka luar biasa,” tutur Ikhsan Pratama, Kepala Bidang Program dan Humas DPKA.
Ia mengatakan itu sambil tersenyum lebar, matanya masih berbinar seperti orang yang baru saja menyaksikan keajaiban kecil.
Menurut Ikhsan, program ini lahir dari keprihatinan sekaligus optimisme. Keprihatinan karena minat baca anak-anak seringkali dikerdilkan oleh keterbatasan koleksi perpustakaan sekolah, dan optimisme karena ternyata anak-anak Aceh—seperti di SDN 66 itu—masih menyimpan rasa ingin tahu yang besar terhadap bacaan baru.
“Kami tahu perpustakaan sekolah punya bahan bacaan, tapi anak-anak zaman sekarang haus eksplorasi. Mereka ingin sesuatu yang berbeda, yang segar, yang membuat mereka terus penasaran,” ungkapnya.
Melalui truk pustaka keliling, DPKA berusaha menjawab kebutuhan itu. Buku-buku yang dibawa dipilih secara kuratif: menarik secara visual, variatif secara tema, dan tentu saja ramah usia. Semuanya disusun rapi di dalam truk yang interiornya dimodifikasi layaknya ruang baca mini. Murid-murid bisa memilih buku, duduk di tikar yang digelar di halaman sekolah, dan membaca dengan nyaman di bawah pohon sambil sesekali tertawa atau menunjuk halaman ke temannya. Suasana seperti itu, menurut Ikhsan, justru membangkitkan kegembiraan belajar yang tak bisa diciptakan oleh video pembelajaran daring.
Program ini bukan pertama kalinya dilakukan, namun setiap kunjungan selalu memberikan cerita baru. “Yang menarik, anak-anak tidak hanya membaca. Mereka mulai bertanya, ‘Kalau mau pinjam lagi gimana? Boleh nggak truk ini datang seminggu sekali?’ Itu pertanyaan yang kami sukai. Karena dari situ, kami tahu benihnya mulai tumbuh,” kata Ikhsan, yang juga mendorong sekolah-sekolah lain untuk ikut ambil bagian. Caranya pun mudah—cukup mengirimkan surat permohonan ke DPKA, maka tim pustaka akan menjadwalkan kunjungan.
Truk Pustaka Keliling bukan hanya kendaraan yang membawa buku, tapi juga membawa misi penting: menyuburkan literasi di usia dini. Dalam konteks SEO dan visibilitas digital, program ini juga relevan dengan kata kunci populer seperti “gerakan literasi sekolah”, “pustaka keliling Aceh”, “cara meningkatkan minat baca anak”, dan “program membaca di era digital”. Semua elemen itu menjadi bagian dari strategi DPKA agar kampanye membaca tak sekadar berakhir di spanduk dan seminar, tetapi benar-benar hidup di tengah anak-anak.
“Buku melatih fokus, membuka wawasan, dan menstimulasi mental. Kalau sejak dini kita tanamkan budaya membaca, niscaya anak-anak kita akan tumbuh menjadi generasi berpikir kritis dan kreatif,” ujar Ikhsan, penuh keyakinan. Ia menambahkan bahwa minat baca tidak muncul dari ruang kosong—ia tumbuh dari pengalaman yang menyenangkan, dari kebiasaan yang dibentuk bersama-sama, dan dari contoh yang diberikan oleh orang dewasa.
Itu sebabnya, DPKA tak berjalan sendiri. Mereka mengajak para guru, kepala sekolah, orang tua, dan komunitas lokal untuk ikut menjaga bara semangat membaca. Bahkan, DPKA membuka pintu lebar-lebar bagi anak-anak yang tertarik untuk menjelajah dunia literasi lebih jauh melalui kunjungan ke Mal Baca Aceh, sebuah pusat literasi yang lebih luas dan lengkap di bawah naungan DPKA.
“Gerakan literasi tak bisa berdiri sendiri. Butuh kolaborasi, dukungan, dan keteladanan. Kita semua punya peran dalam membangun generasi yang gemar membaca,” tutup Ikhsan. Kalimat itu seakan jadi ajakan terbuka: jika buku tak lagi datang sendiri ke tangan anak-anak, maka sudah seharusnya kita yang mengantarkannya. Lewat roda truk pustaka atau lewat kebiasaan kecil setiap malam sebelum tidur, setiap upaya menyulut semangat baca adalah investasi yang tak ternilai.
Dan siapa sangka, di tengah era TikTok dan YouTube Shorts, sebuah truk berisi buku masih bisa jadi bintang utama di halaman sekolah.[Adv]