Haba Nusantara .net– Dua dekade telah berlalu sejak bencana tsunami (Smong) meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004. Tragedi ini meninggalkan duka mendalam bagi Anggota Komisi 1 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Ir, Iskandar. Dua putranya hilang terbawa arus Smong pada saat itu.
Kepada media ini, Kamis (26/12/2024), Politisi partai Golkar itu mengenang tragedi Smong. Sebanyak 29 anggota keluarga besarnya hilang, termasuk kedua anaknya.
“Hari ini, saya bersama isteri merenung dan mengenang saat kedua putra kami dan anggota keluarga besar kami yang hilang pada saat itu,” ujarnya.
Di momentum peringatan Tsunami ini, Iskandar mengingatkan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Dia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat semangat mitigasi bencana berbasis kearifan lokal, terutama konsep “smong”.
“Kita harus terus mengingat dan mempelajari pelajaran berharga dari peristiwa 2004. Smong, yang merupakan kearifan lokal masyarakat Simeulue, telah terbukti menyelamatkan banyak nyawa saat tsunami terjadi. Ini adalah warisan budaya yang harus kita jaga dan integrasikan dalam pendidikan serta strategi mitigasi bencana di Aceh,” ujar Anggota DPRA asal Simeulue itu.
Dikatakannya, Smong merupakan istilah dalam bahasa Simeulue yang merujuk pada gelombang besar atau tsunami. Konsep ini menjadi panduan masyarakat setempat untuk segera menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi ketika melihat tanda-tanda seperti gempa bumi kuat atau surutnya air laut secara tiba-tiba.
Menurut Iskandar, smong tidak hanya relevan bagi masyarakat pesisir Simeulue tetapi juga bagi seluruh masyarakat Aceh dan kawasan rawan bencana lainnya. Ia mengusulkan agar kearifan lokal ini dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan, pelatihan kebencanaan, dan simulasi rutin di berbagai kabupaten/kota di Aceh.
“Anak-anak kita harus tahu apa yang harus dilakukan jika terjadi gempa dan tsunami. Mereka perlu memahami smong, bukan hanya sebagai cerita, tetapi sebagai ilmu yang dapat menyelamatkan nyawa,” tegas Iskandar.
Iskandar mengatakan, kearifan lokal masyarakat Simeulue dalam menghadapi tsunami, yaitu tradisi Smong, telah mendapat penghargaan internasional SASAKAWA AWARD dari UN-ISDR.
United Nations Sasakawa Award for Disaster Risk Reduction adalah penghargaan yang diberikan kepada individu, kelompok, organisasi, dan pemerintah daerah yang telah melakukan upaya aktif untuk mengurangi risiko bencana di komunitas mereka.
Smong merupakan tradisi turun temurun yang terbukti efektif menekan korban meninggal dalam bencana tsunami. Kata Smong berasal dari Bahasa Devayan, Bahasa asli Simeulue, yang diartikan sebagai hempasan gelombang air laut. Tradisi ini berawal dari pengalaman masyarakat Simeulue pada masa lalu terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Tsunami Aceh terjadi pada 26 Desember 2004, yang menyebabkan kerusakan fisik dan infrastruktur yang masif, serta berdampak besar pada aspek sosial masyarakat
Evaluasi sistem mitigasi
Iskandar juga menyoroti pentingnya evaluasi terhadap sistem mitigasi bencana yang ada di Aceh. Menurutnya, meskipun infrastruktur kebencanaan seperti sirene peringatan dini dan jalur evakuasi telah dibangun, masih banyak yang perlu diperbaiki.
“Kita harus pastikan semua alat peringatan dini berfungsi dengan baik, jalur evakuasi bebas hambatan, dan masyarakat tahu cara menggunakannya. Pemerintah harus serius memastikan kesiapan ini,” kata Iskandar.
Ia juga mengapresiasi peran Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) yang terus melakukan edukasi kebencanaan kepada masyarakat. Namun, ia menekankan perlunya kolaborasi lebih erat antara pemerintah maupun legislatif, dan tokoh adat dalam menyosialisasikan mitigasi bencana berbasis smong.
Selain aspek teknis, Iskandar menilai semangat kebersamaan dan gotong royong masyarakat Aceh juga menjadi modal penting dalam menghadapi bencana. Ia mengingatkan bahwa tsunami 2004 telah mengajarkan masyarakat untuk saling membantu dan bangkit bersama dari keterpurukan.
“Kita tidak boleh lupa bahwa semangat kebersamaan itulah yang membuat Aceh mampu bangkit dari bencana. Semangat ini harus terus kita jaga dan kembangkan, terutama dalam menghadapi ancaman bencana di masa depan,” ujar Iskandar.
Peringatan 20 tahun tsunami Aceh menjadi momen refleksi bagi semua pihak. Iskandar berharap momentum ini dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya mitigasi bencana dan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal seperti smong dalam kehidupan sehari-hari.
“Bencana tidak bisa kita hindari, tetapi dengan mitigasi yang baik, kita dapat meminimalkan dampaknya. Mari kita jadikan smong sebagai landasan dalam membangun Aceh yang lebih siap menghadapi bencana,” katanya.
Momentum ini diakhiri dengan doa bersama dan tabur bunga di makam massal korban tsunami sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah berpulang. Acara tersebut dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dan masyarakat umum yang kembali mengenang tragedi besar tersebut dengan harapan Aceh menjadi lebih kuat dan tangguh di masa depan. (r]