ADVERTORIALHeadline

Burung Migrasi dan Bandeng Presto Bantu Pendapatan Desa Cinta Raja

×

Burung Migrasi dan Bandeng Presto Bantu Pendapatan Desa Cinta Raja

Sebarkan artikel ini

Haba Nusantara .net- Desa Cinta Raja yang berada di Kecamatan Langsa Timur, Kota Langsa, Provinsi Aceh menjadi daya tarik sendiri bagi warga Aceh. Dimana di desa tersebut memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang mampu memberikan pendapatan bagi desa.

Desa Cinta Raja memiliki dua usaha yang mampu menjadi daya tarik tersendiri untuk berkunjung kesitu, dimana dari segi wisata, desa tersebut memiliki wisata burung migrasi yakni tempat singgah bagi burung migrasi dari mancanegara. Di bidang kuliner, desa itu mempunyai usaha bandeng presto.

Mursalin merupakan Direktur Utama dari BUMDesa yang bernama Kelompok Tani Nelayan Tunas Muda. Mursalin juga salah satu orang yang menggagas wisata burung migrasi di Cinta Raja, melalui kelompok Eco Cinta Raja, Mursalin bersama pemuda setempat mulai mengenalkan Wisata Burung Migrasi di Aceh.

Desa Cinta Raja sendiri sudah pernah dikunjungi oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno pada Jumat, 15 April 2022 lalu.

Saat ini wisata burung migrasi memang sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Mursalin mengungkapkan kalau migrasi burung yang masuk ke kawasan ini terdeteksi hingga 33 jenis. Puncaknya, migrasi burung ini terjadi pada bulan April hingga Oktober. “Migrasi burung ini dimulai di bulan April hingga puncaknya pada bulan Oktober,” ujarnya.

Dengan badan tegapnya, memakai kacamata hitam riben, sembari meneropong burung, Mursalin selalu dengan antusias memberi tahu setiap jenis burung yang ada di Desa Cinta Raja.

Dimana rata-rata burung yang bermigrasi ke desa itu seperti Terik Asia, Bangau Bluwok, Kuntul Cina dan masih banyak lagi. “Rata-rata burung yang melakukan migrasi yang berada di Desa Cinta Raja itu berasal dari Asia, Australia, hingga Eropa,” ucapnya.

Menurutnya burung-burung yang ada disini memiliki perilaku yang unik yakni tidak pernah ada konflik dengan spesies burung lain. Burung-burung ini tetap pada kelompoknya karena sudah ada jenis makanannya masing-masing.

Setiap tahunnya, Mursalin mengatakan Desa Cinta Raja menjadi salah satu opsi terbaik wisata di Aceh oleh turis mancanegara, bahkan banyak juga para peneliti hingga mahasiswa datang kemari untuk melihat langsung bagaimana perilaku burung-burung yang singgah di desa itu.

“Sebagai pengelola wisata tentu kita bangga sekali, selain menjadi pusat penelitian, desa Cinta Raja juga banyak dikunjungi oleh masyarakat lokal,” ujar Mursalin.

Untuk fasilitas, Mursalin menyediakan tour guide dan peralatan untuk melihat lebih dekat burung-burung ini seperti teropong, konsumsi serta lainnya. Selain itu, saat ini ia juga sudah mulai merencanakan wisata lainnya yaitu wisata sawah.

Lokasi yang Desa Cinta Raja juga dihimpit oleh luasnya sawah dimana ketika masa tanam tentu juga akan sangat menarik dan sejuk dipandang.

“Kita sudah punya plan besar sejak awal, menjadikan Desa Cinta Raja menjadi desa wisata terbaik di Aceh, banyak sekali yang bisa dibuat di Cinta Raja,” kata Mursalin dengan penuh semangat.

Mursalin juga menjelaskan di Desa Cinta Raja terdapat sebuah produk kuliner unggulan yaitu Bandeng Presto yang sudah berjalan sejak tahun 2016. Usaha Bandeng Presto ini dijalankannya dengan penuh dedikasi dan sungguh-sungguh. “Jatuh bangun sudah saya rasa pastinya,” kata Mursalin.

Usaha Bandeng Presto merupakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) Cinta Raja. Bandeng Presto lahir karena kerjasama antara kosabangsa yang berasal dari Kampus Merdeka.

Kala itu, Kosabangsa memberikan data potensi-potensi yang ada di Desa Cinta Raja, sehingga terbentuklah kelompok usaha yang membuat Bandeng Presto.

Cinta Raja sendiri memang mempunyai banyak tambak masyarakat, dimana hasil tambak di Desa Cinta Raja adalah ikan bandeng, sehingga melalui potensi ini dibuatlah sebuah produk unggulan yakni Bandeng Presto. “Kita paling luas itukan tambak, sawah maka dipilih Bandeng Presto,” ucapnya.

Lanjut Mursalin, awal pemilihan ini tentu sangat didukung oleh banyak pihak. Banyaknya kerjasama salah satunya dengan kampus IPB, sedangkan bahan-bahannya seperti alat dan resep itu diberikan oleh Kosabangsa. Dari sanalah terbentuk Kelompok Tani Nelayan Tunas Muda pada tahun 2016 dan ia pada tahun 2019 menjadi Direktur Utamanya.

Bandeng Presto sendiri, kata Mursalin, sudah diproduksi lebih dari 1 ton sejak awal terbentuknya kelompok ini. Walaupun produksinya tidak per bulan, minat masyarakat membeli Bandeng Presto sudah mulai terlihat.

“Kita tidak diberikan modal, melainkan dukungan alat yang dibutuhkan untuk mendukung proses kerja dalam produksi bandeng presto,” ucapnya.

“Kita produksi itu setiap tiga bulan sekali, kadang empat bulan sekali, tergantung orderan dan ketersediaan ikan bandeng juga,” sambungnya.

Pada usaha Bandeng Presto ini tidak merekrut karyawan sama sekali, melainkan melibatkan ibu-ibu atau warga setempat. Alasan memilih ibu-ibu setempat juga sembari perekonomian keluarga-keluarga mereka.

“Pada usaha ini tidak ada gaji tetap, jadi semua swadaya. Ketika nanti ada produksi dan sudah terjual maka nanti akan bagi hasil dengan para ibu-ibu ini,” jelasnya.

Kata Mursalin, untuk sekali produksi bandeng presto mencapai 100 Kilogram (Kg) dan satu Pisces (Pcs) dihargai Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu tergantung ukurannya. Produk Bandeng Presto ini sudah pernah dipesan sampai ke Sumatera Utara.

“Kalau ada yang pesan-pesan biasanya juga kita kasih diskon juga,” ujarnya.

Mursalin mengatakan daya tahan Bandeng Presto ini bisa mencapai 6 bulan dari hasil uji dari IPB. Bandeng presto buatan Desa Cinta Raja ini dibuat tanpa bahan pengawet sehingga bahan yang digunakan adalah bahan-bahan alami yang tergabung dari banyak rempah-rempah khas Aceh yaitu asam sunti.

Saat ini, kata Mursalin, yang menjadi kendala utama di Kota Langsa Bandeng Presto sendiri masih kurang peminatnya.

Walaupun sudah dikenal oleh warga setempat dan sudah dikirim ke luar Aceh, daya beli masyarakat Kota Langsa masih minim.

“Karena itulah kita tidak produksi secara rutin, hanya berdasarkan pemesanan saja, walaupun demikian setiap tahunnya selalu ada peminatnya di Aceh,” ujarnya.

Berkat usaha bandeng presto ini, kata Mursalin, banyak warga desa cinta raja mendapat penghasilan lebih untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Walaupun tidak rutin produksi, banyak warga yang terbantu berkat usaha ini. “Setiap kali produksi rata-rata 100 Kg dan selalu pasti ada peningkatan produksi, misalnya dari 100 Kg menjadi 150 Kg atau tidak kurang 100 Kg, tergantung pemesanan juga. Tentunya hasil penjualan dari bandeng presto ini dibagikan kepada ibu-ibu yang ikut membantu produksi,” jelasnya.

Target kedepan Mursalin berencana akan membuat sebuah outlet store untuk Bandeng Presto dan produk unggulan lainnya di Desa Cinta Raja. Karena Desa Cinta Raja merupakan desa wisata, maka harus dipersiapkan dengan baik.

Sehingga, ketika ada pengunjung datang usai melihat Burung Migrasi juga bisa membawa pulang buah tangan khas Desa Cinta Raja.

“Ke depan kita akan buat sebuah outlet untuk Bandeng Presto, selain Bandeng Presto nanti juga aka nada produk unggulan lainnya seperti anyaman tikar khas Cinta Raja dan masih banyak lagi,” pungkasnya.

Sementara itu, Penjabat (Pj) Keuchik Cinta Raja, Andi Iskandar mengatakan potensi desa yang dipimpinnya itu memang sudah mulai terlihat sejak awal. Tidak hanya sebatas burung migrasi saja, Desa Cinta Raja masih menyimpan banyak hal.

“Seperti saat ini bandeng presto, anyaman tikar, burung migrasi, wisata sawah, dan masih banyak lagi,” katanya.

Andi mengatakan saat ini Desa Cinta Raja memang butuh perhatian lebih dari pemerintah. Karena melihat banyaknya potensi-potensi yang ada, misalnya seperti penambahan fasilitas menara pantau untuk wisata burung migrasi, kemudian homestay yang memadai bagi pengunjung yang ingin berwisata di Desa Cinta Raja.

“Masih banyak lagi yang potensi-potensi besar di Desa Cinta Raja,” ujarnya.

Prospek BUMDesa Tunas Muda sendiri untuk usaha bandeng presto ini memang sangat menjanjikan, walaupun masih banyak yang perlu dibenahi, progresnya sendiri sudah mulai terlihat.

Secara garis besar, kata Andi, memang BUMG Tunas Muda ini belum maju, namun semangat para pengurus dan pemuda serta warga setempat itu ada, nyatanya, produk bandeng presto sendiri sudah mulai banyak peminatnya di luar Kota Langsa.

“Semangat mereka ini yang membuat BUMG Tunas Muda ini yang tidak bisa dihilangkan, semangat mereka pula yang membuat bandeng presto ini semakin dikenal, maka karena itu banyak sekali yang harus dibenahi, Insyaallah akan semakin maju kedepannya,” ujarnya.

Sebagai Pj Keuchik Cinta Raja, Andi memang sedang melakukan banyak hal terhadap produk-produk yang ada di Desa Cinta Raja, salah satunya adalah terus mengenalkan produk unggulan Desa Cinta Raja khususnya Kota Langsa dan di luar Aceh.

“Tentu ini menjadi tanggung jawab, tentunya ini akan menjadi perhatian khusus bagi saya secara pribadi sebagai Pj keuchik. Kita akan berupaya agar produk-produk unggulan di Cinta Raja semakin dikenal dan diminati oleh masyarakat secara umumnya,” pungkasnya.

DPMG Aceh Dampingan BUMDes

Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang merupakan badan usaha yang dikelola oleh Pemerintah Desa dan berbadan hukum kian berkembang di Aceh.

Sejarah pembentukan BUMDes di Aceh beriringan dengan perkembangan kebijakan nasional mengenai pembangunan desa dan penguatan ekonomi lokal.

Pemerintah Desa dapat mendirikan badan usaha sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa tersebut. Proses pembentukannya juga ditetapkan dengan peraturan desa setempat.

Istilah BUMDes di Aceh juga dikenal dengan sebutan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG). Pengelolaan BUMDes di Aceh tercantum dalam Qanun No 6 Tahun 2014 yang mengatur tentang otonomi desa atau gampong.

Dalam konteks Aceh, pemerintah mendorong penguatan lembaga ekonomi berbasis desa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tahun 2015, isu dana desa mulai menjadi perhatian nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota mendorong pembentukan BUMDes sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kemandirian ekonomi desa.

Pada tahun 2024, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) mencatat jumlah BUMG di provinsi Aceh mencapai 6.302 unit dari total 6.500 gampong di seluruh Aceh.

Oleh karena itu, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) melakukan berbagai upaya guna meningkatkan stabilitas ekonomi di desa dengan melakukan serangkaian proses pendampingan pada BUMDes.

Kepala DPMG Aceh, T. Aznal Zahri melalui Analis Kebijakan Bidang Pemberdayaan Masyarakat DPMG Aceh, Edi Fadhil mengatakan, saat ini pihaknya fokus pada pengembangan BUMDesa yang dilakukan berbasis klaster.

Dimana sistem tersebut mencakup 11 jenis usaha yang telah dijalankan oleh badan usaha, yaitu seperti pangan, jasa keuangan, air minum dalam kemasan, industri kecil, wisata desa, pengelolaan sampah, perikanan, peternakan, perdagangan, perkebunan, dan BUMDes bersama.

“Dari 11 jenis usaha itu kita ambil yang prakteknya bagus, kita lakukan pelatihan sesuai dengan isu yang mereka butuhkan, misalnya untuk air minum kemasan mereka butuh terkait perizinan maka kita berikan pelatihan terkait perizinan, jadi konteks pelatihan lebih ke apa yang dibutuhkan,” ujar Edi.

Selain pelatihan, Edi mengatakan, pihaknya juga melakukan sejumlah upaya lain dalam proses pendampingan terhadap BUMDesa seperti terjun langsung ke lapangan guna memantau perkembangan usaha dan melakukan monitoring terkait apa yang sedang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas usaha.

Kemudian, DPMG Aceh juga menyalurkan alat dan bahan yang dibutuhkan untuk kerja dan mendukung proses pekerjaan pada badan usaha tersebut.

“Kita tidak berikan modal, melainkan alat yang dibutuhkan untuk mendukung proses kerja itu,” ujarnya.

Selanjutnya, DPMG Aceh juga memfasilitasi BUMDes untuk berkolaborasi dengan Baitul Mal yang menyediakan zakat produktif untuk mendukung badan usaha tersebut.

“Hingga saat ini, tercatat sebanyak 100 BUMDes sudah menerima zakat produktif tersebut,” sebutnya.

Edi menyebutkan, BUMG dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu Perintis, Pemula, Berkembang dan Maju.

Dijelaskannya, BUMG perintis merupakan badan usaha yang baru dibentuk dan masih dalam tahap awal operasional. Fokusnya pada pengenalan konsep dan penyusunan rencana bisnis.

Sementara kategori pemula adalah badan usaha yang sudah mulai beroperasi dengan beberapa kegiatan usaha, tetapi belum sepenuhnya stabil dalam pendapatan dan manajemen.

Selanjutnya BUMG dengan status berkembang merupakan badan usaha yang telah menunjukkan kemajuan dalam operasional dan pendapatan, dengan manajemen yang lebih baik dan keberagaman usaha.

Terakhir adalah BUMG kategori maju yaitu badan usaha yang telah mencapai tingkat kemajuan yang signifikan, dengan pengelolaan yang profesional, pendapatan yang stabil, dan kontribusi nyata terhadap perekonomian desa.

Edi merincikan dari jumlah total 6.302 BUMG di Aceh, sebanyak 2.478 unit berstatus perintis, 3.308 berstatus tumbuh, 461 berstatus berkembang dan 55 lainnya masuk dalam kategori maju.

Adapun 55 BUMG kategori maju tersebar di beberapa daerah seperti Kabupaten Aceh Tengah, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat Daya, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Aceh Barat, serta Kota Banda Aceh, dan Langsa.

Dalam proses pendampingan tersebut, Edi mengaku banyak tantangan yang terjadi di lapangan, seperti tingkat sumber daya manusia (SDM) yang terbatas, baik dalam segi manajemen wirausaha maupun keuangan.

Menghadapi tantangan tersebut, DPMG Aceh melakukan berbagai upaya pendampingan guna meningkatkan kapasitas SDM masyarakat sehingga terwujudnya BUMDes yang mampu menghasilkan pendapatan stabil dan mensejahterakan masyarakat desa.

Edi menjelaskan, tujuan dari pembentukan BUMDes adalah meningkatkan kemandirian ekonomi desa dengan menjadi sumber pendapatan asli desa, sehingga mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah.

Selain itu kehadiran BUMDes juga diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan potensi lokal dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi ekonomi yang ada di desa tersebut untuk kemajuan desa setempat.

Kehadiran BUMDes juga dapat menciptakan peluang kerja, mengurangi angka pengangguran, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Dengan terwujudnya hal tersebut, badan usaha diharapkan dapat mengembangkan sektor usaha, pembangunan infrastruktur dan pemberdayaan masyarakat sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di desa.

“Kita berharap kehadiran BUMDes mampu meningkatkan perekonomian masyarakat dengan meningkatkan Pe

ndapatan Asli Daerah (PAD) desa dan menggali potensi di setiap desa, saya yakin setiap desa memiliki kelebihan yang bisa dikembangkan,” pungkas Edi.[***]

Tinggal Komentar Anda
Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close