Habanusantara.net – Wali Nanggroe Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk. Malik Mahmud Al-Haythar, melakukan pertemuan strategis dengan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Jenderal Polisi (Purn) Muhammad Tito Karnavian, di kediaman pribadi Mendagri di Jakarta, Sabtu (12/7/2025).
Pertemuan yang berlangsung selama hampir tiga jam itu berlangsung dalam suasana akrab, santai, namun penuh makna. Keduanya membahas berbagai isu penting menyangkut masa depan Aceh, mulai dari keberlanjutan Dana Otonomi Khusus (Otsus), penguatan kelembagaan adat, pendidikan, hingga pengawasan anggaran pembangunan.
Isinya
Dana Otsus Dinilai Belum Berdampak Maksimal
Dalam pertemuan tersebut, Wali Nanggroe menyoroti keberadaan Dana Otsus Aceh yang hingga kini dinilai belum memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
“Dana Otsus selama ini dikucurkan dalam jumlah besar, namun belum menunjukkan hasil nyata yang dirasakan langsung oleh rakyat. Karena itu, pengawasan dan efektivitas penggunaannya harus ditingkatkan,” ujar Malik Mahmud.
Ia meminta Kemendagri mengambil peran lebih strategis dalam memastikan anggaran dalam APBA digunakan tepat sasaran dan sesuai prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Aceh.
Bahas Masa Depan Dana Otsus
Menanggapi hal tersebut, Mendagri Tito Karnavian mengakui bahwa efektivitas Dana Otsus Aceh memang belum optimal. Ia bahkan menyinggung kemungkinan dampak serius bagi pembangunan Aceh jika Dana Otsus tidak dikelola dengan baik atau tidak diperpanjang.
“Aceh masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Jika pengelolaannya tidak berkelanjutan dan tidak diiringi penguatan kapasitas daerah, tentu akan menghambat pembangunan,” kata Tito.
Ia juga menyarankan agar Wali Nanggroe, Gubernur Aceh, dan Ketua DPRA segera menghadap Presiden RI untuk membicarakan langsung masa depan Dana Otsus Aceh.
Penguatan Lembaga Wali Nanggroe dan Nilai Keistimewaan Aceh
Dalam forum itu, Wali Nanggroe juga menyinggung pentingnya penguatan Lembaga Wali Nanggroe (LWN) sebagai lembaga adat yang bersifat independen, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
“Lembaga ini adalah simbol pemersatu rakyat Aceh, bukan lembaga politik, tapi lembaga nilai. Maka, agar bisa menjalankan peran secara optimal, perlu dukungan anggaran yang memadai dan perlindungan terhadap fungsi-fungsi adat,” jelas Malik Mahmud.
Tito menyambut baik hal itu dan menyatakan komitmennya untuk mendukung penguatan kelembagaan keistimewaan di Aceh, termasuk rencana restrukturisasi agar lembaga adat lebih efektif dan efisien.
4 Isu Strategis Lain yang Dibahas
Selain Dana Otsus dan penguatan lembaga adat, pertemuan itu juga membahas empat isu strategis lain:
- Penguatan sektor pendidikan di Aceh, termasuk peran kurikulum berbasis nilai lokal.
- Isu sosial-budaya yang berkaitan dengan pelestarian identitas Aceh di tengah perkembangan zaman.
- Penguatan tata kelola pemerintahan daerah, agar birokrasi di Aceh lebih transparan dan profesional.
- Konsolidasi pasca-perdamaian, untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan hasil MoU Helsinki.
Dukungan Penuh untuk Perdamaian dan Kesejahteraan
Pertemuan tersebut juga menjadi ruang afirmasi bahwa Pemerintah Pusat dan Lembaga Wali Nanggroe memiliki kesamaan pandangan dalam menjaga perdamaian Aceh yang telah terbangun pasca-MoU Helsinki.
“Dukungan pusat sangat dibutuhkan agar lembaga-lembaga keistimewaan di Aceh tidak hanya menjadi simbol, tapi benar-benar bisa memberi dampak bagi rakyat,” tegas Malik Mahmud.
Turut hadir dalam pertemuan itu sejumlah pejabat eselon I Kementerian Dalam Negeri, di antaranya Sekjen, Dirjen Adwil, Itjen, dan Dirjen Keuda. Sementara itu, Wali Nanggroe didampingi oleh Anggota Majelis Tuha Peut, staf khusus, dan Katibul Wali.
Pertemuan ditutup dengan makan siang dan sesi foto bersama sebagai bentuk keakraban dan komitmen bersama membangun Aceh ke depan.[]