Habanusantara.net – Tenun songket selama ini dikenal sebagai warisan budaya yang sarat makna, penuh simbol, dan bernilai tinggi. Namun bagi Ira Mutiara, Owner Mutiara Songket, tenun bukan hanya tradisi turun-temurun, melainkan juga pintu menuju dunia ekonomi kreatif yang membuka peluang baru bagi generasi muda Aceh.
Kisah Mutiara Songket dimulai dari sang ibu yang sudah menekuni seni menenun sejak lama. Sang ibu belajar di Songket Nyak Mu dan menekuni profesi itu secara mandiri hingga akhir hayat. Setelah sempat vakum, Ira kemudian bangkit pada 2019, berkat dorongan dan pembinaan dari Bank Indonesia (BI) serta Dekranasda Aceh.
“Awalnya kami benar-benar merangkak. Tidak ada nama, tidak ada fasilitas. Baru setelah ada pembinaan BI, mulai dari alat tenun, bahan baku, hingga gedung, usaha ini bisa tumbuh,” tutur Ira, Sabtu (4/10/2025).
Langkah kecil itu berbuah besar. Dari hanya mengandalkan alat sederhana di rumah, kini Mutiara Songket berkembang menjadi salah satu penggerak ekonomi kreatif di Aceh. Gedung lama yang direhab BI menjelma menjadi ruang produksi yang lebih representatif, sekaligus tempat pembinaan generasi baru penenun.
“Kalau dulu seadanya, sekarang fasilitas lebih baik. Hasil tenun pun lebih berkualitas dan bisa bersaing,” tambahnya.
Dari Aceh, songket ini menembus panggung nasional. Sejumlah selebritas papan atas pernah mengenakannya, di antaranya Ariel Tatum, Aurelie, Chad Kelvin, hingga Haris Virza. Bahkan Putri Indonesia juga pernah tampil dengan balutan songket Aceh karya Ira.
“Itu pencapaian yang luar biasa. Dari yang dulunya tidak dikenal, kini songket Aceh bisa tampil di panggung nasional,” ungkapnya.
Tak hanya artis, pasar untuk songket Aceh juga menjangkau berbagai kota besar. Pesanan datang dari Jakarta, Kalimantan Barat, hingga kawasan lain di luar Aceh. Walau belum rutin menembus pasar internasional, peluang terbuka lebar karena permintaan terus mengalir.
“Kalau ada event besar atau pesanan khusus, kita kirim keluar daerah. Tidak setiap bulan, tapi alhamdulillah selalu ada,” jelasnya.
Perjalanan Mutiara Songket menjadi bukti bagaimana tradisi bisa tumbuh berdampingan dengan ekonomi kreatif. Dengan sentuhan inovasi, songket tidak lagi sekadar kain tradisional, melainkan produk mode yang bisa tampil dalam fashion show, festival budaya, hingga platform digital.
Meski peluang pasar terbuka, pembuatan songket tetap menuntut kesabaran tinggi. Satu helai kain bisa dikerjakan hingga satu bulan. Setiap motif disusun benang demi benang dengan teknik tradisional menggunakan Alat Tenun Kaki Tangan (ATKT).
“Nilai seni songket itu justru ada pada prosesnya. Tidak bisa instan, tidak bisa digantikan mesin,” jelas Ira.
Maka tak heran, harga yang dibanderol pun capai jutaan. Per lembar songket dijual dengan harga Rp2 juta, tapi bisa dijual dengan harga lebih tinggi jika proses pengerjaan motif lebih susah. Kain songket Aceh yang dihasilkan memiliki motif khas floral, seperti motif pucok reubong, Pinto Aceh, motif bungong pula, motif bungong lawang, motif bungong geulima, dan lain-lain.
Kini, generasi muda pengrajin dilibatkan agar tradisi tidak punah. Mereka tidak hanya diajari teknik menenun, tapi juga cara memasarkan, berinovasi, dan berjejaring dengan pelaku ekonomi kreatif lain.
Menurut Ira, tantangan terbesar adalah mengajak anak muda untuk tertarik menenun. Banyak yang menganggap menenun kuno, padahal dengan sentuhan inovasi, songket bisa menjadi ladang ekonomi yang menjanjikan.
“Kalau dikemas dengan baik, songket bisa masuk ke dunia fashion modern, bahkan dijual lewat media sosial dan platform digital. Itu yang sedang kami dorong,” ujarnya.
Mutiara Songket kini menjadi bukti nyata bahwa warisan budaya bisa menjadi bagian dari ekosistem ekonomi kreatif. Dengan dukungan pemerintah, perbankan, hingga komunitas desainer, kain tradisional Aceh berpeluang menembus pasar nasional bahkan internasional.[***]