Habanusantara.net – Siapa sangka, perjalanan Daisy Blooms Wedding yang kini dikenal sebagai salah satu pelopor wedding planner modern di Aceh bermula dari pernikahan sang pendirinya sendiri, Farisa Sabila. Ia bercerita bahwa ide awal bisnis ini muncul saat ia mempersiapkan dekorasi untuk hari bahagianya pada tahun 2018.
“Awalnya ingin sesuatu yang berbeda. Setiap orang punya wedding dream sendiri, dan waktu itu saya berpikir daripada hire orang lain, kenapa tidak buat sendiri saja? Dari situ orang mulai suka, dan ternyata banyak yang tertarik,” ujar Farisa mengenang.
Dari situ, ia menjadi salah satu pelopor konsep rustic outdoor wedding di Aceh dengan gaya pernikahan yang kala itu belum banyak dikenal. Setahun kemudian, pada 2019, Daisy Blooms berkembang menjadi wedding planner sekaligus decor vendor profesional, setelah banyak klien yang meminta Farisa dan timnya tidak hanya mendekorasi, tapi juga mendampingi secara menyeluruh dalam proses pernikahan.
Di tangan Farisa, usaha ini berkembang dengan menggabungkan seni, estetika, dan nilai budaya lokal dalam industri pernikahan yang semakin kompetitif. “Saya tidak ingin hanya menjual dekorasi, tapi menghadirkan pengalaman yang bermakna bagi setiap pasangan,” ujar Farisa.
Kini, Daisy Blooms bukan lagi sekadar proyek pernikahan teman atau kerabat. Ia telah berkembang menjadi brand kuat di industri ekonomi kreatif subsektor desain interior dekoratif. Pendekatannya yang eksperimental dan fleksibel membuat Daisy berbeda dari layanan serupa di Aceh.
Dalam industri ekonomi kreatif, kunci keberhasilan adalah inovasi. Farisa sadar, tren pernikahan cepat berubah, sementara pasangan muda kini menginginkan sesuatu yang unik dan autentik. Itulah mengapa Daisy Blooms selalu membuka ruang kolaborasi dengan klien, memberi keleluasaan memilih vendor, hingga menyesuaikan gaya acara dengan karakter pasangan.
“Kami selalu berusaha tidak kaku. Setiap pasangan punya cerita dan gaya sendiri, tugas kami adalah menerjemahkan itu ke dalam bentuk visual,” jelasnya.
Pendekatan ini mencerminkan semangat ekonomi kreatif yang berorientasi pada nilai tambah dari ide dan imajinasi manusia, bukan hanya produksi barang.
Farisa juga menekankan pentingnya tim lokal yang kreatif. Ia melibatkan banyak tenaga muda Aceh yang memiliki minat di bidang desain, fotografi, dan tata artistik. Dengan begitu, Daisy Blooms tidak hanya menjadi bisnis pribadi, tapi juga ruang kolaboratif yang menumbuhkan ekosistem kreatif di Banda Aceh.
Selama tujuh tahun merintis, tantangan terbesar yang dirasakan Farisa bukan hanya soal bisnis, melainkan juga perbedaan selera antara calon pengantin dan orang tua. “Pernikahan di Aceh itu unik, karena sebenarnya acara itu milik orang tua. Tamu-tamunya juga kebanyakan undangan orang tua,” ujarnya.
Farisa menjelaskan, segmentasi Daisy Blooms memang lebih ke arah modern dan eksperimental. Namun, banyak pasangan yang ingin konsep modern tapi terbentur keinginan keluarga untuk tetap mempertahankan nuansa tradisional. Solusinya, tim Daisy biasanya membuat mood board dan sketsa visual agar kedua pihak bisa membayangkan hasil akhirnya.
“Kita kombinasikan dua selera itu jadi satu konsep kontemporer. Jadi ada sentuhan nasional dan tradisional. Bahkan, kita buat sketsa dengan tingkat akurasi 97 persen sebelum dipasang, supaya semua bisa setuju dulu,” jelasnya.
Dalam dunia usaha yang kompetitif, Daisy Blooms tetap memegang teguh prinsip tidak menurunkan standar kualitas demi bersaing harga. Menurut Farisa, banyak pengusaha muda yang kini terjun ke bisnis wedding dengan kreativitas tinggi, tapi sebagian memilih strategi “banting harga” untuk menarik klien.
“Kita nggak mau nurunin standar. Kita tingkatin value. Karena orang yang datang ke Daisy itu punya segmentasi khusus. Kalau nggak cocok harganya, berarti memang bukan pasar kita,” tegasnya.
Farisa percaya bahwa kualitas dan karakter desain yang kuat justru menjadi pembeda utama. Setiap dekorasi yang dibuat Daisy Blooms tidak pernah sama antara satu acara dan lainnya. “Kita selalu menggali cerita di balik setiap pasangan. Jadi pelaminan mereka itu mencerminkan siapa mereka,” katanya.
Bicara soal inovasi, Daisy Blooms Wedding banyak terinspirasi dari tren pernikahan di Bangkok yang dikenal berani mengeksplor material unik dan konsep eksperimental. Farisa dan timnya juga rutin mengikuti workshop dan berjejaring dengan komunitas pelaku industri wedding di berbagai daerah.
“Walaupun sudah punya usaha, kita tetap harus belajar. Punya mentor itu penting. Dengan ikut komunitas, kita bisa tahu tren dan dinamika industri. Jadi terus berkembang,” ujar Farisa.
Pemerintah daerah juga mulai melirik sektor ini sebagai bagian penting dari penggerak ekonomi kreatif. Konsep pernikahan yang mengangkat nilai budaya lokal dan kearifan tradisi Aceh, bisa menjadi daya tarik tersendiri jika dikemas secara modern.
“Bagi saya, nilai lokal itu penting. Kita bisa tetap modern tanpa meninggalkan akar budaya,” kata Farisa.
“Ekonomi kreatif bukan cuma soal cuan, tapi soal makna dan nilai. Saat kita menciptakan sesuatu dengan hati, dampaknya bisa jauh lebih luas,” tuturnya.
Kini, Daisy Blooms Wedding telah menjadi inspirasi bagi banyak pelaku muda di Banda Aceh untuk berani mengekspresikan ide, berkolaborasi, dan menjadikan kreativitas sebagai sumber penghidupan.[***]