Habanusantara.net — Di tengah geliat ekonomi yang kian menantang, Banda Aceh justru mencatat cerita berbeda. Kota ini sedang menyaksikan kebangkitan ekonomi kreatif (Ekraf) yang lahir dari semangat kolaborasi—antara pemerintah, komunitas, dan anak muda digital yang berani mencipta.
Bukan sekadar jargon, kolaborasi ini jadi napas baru bagi ribuan pelaku ekonomi kreatif di Banda Aceh. Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh, melalui Bidang Ekonomi Kreatif, menegaskan komitmennya untuk terus memperkuat sumber daya manusia (SDM) kreatif di berbagai sektor, dari pelaku usaha rumahan, UMKM, hingga kreator Gen Z yang tumbuh di dunia digital.
“Konsepnya sederhana tapi kuat — kerja bareng, saling dukung, dan tumbuh sama-sama. Karena kalau mau Banda Aceh jadi kota kreatif, ya harus kolaboratif,” kata Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dispar Banda Aceh, Iin Muhaira
Sejak 2023 hingga pertengahan 2025, jumlah pelaku ekonomi kreatif di Banda Aceh terus melonjak. Dari 1.109 pelaku yang terdaftar di OSS pada 2023, kini sudah lebih dari 4.000 pelaku usaha yang bergerak di 17 subsektor ekonomi kreatif — mulai dari kuliner, kriya, hingga digital konten dan desain komunikasi visual.
Namun, bagi Iin, angka itu bukan tujuan akhir. Yang lebih penting adalah bagaimana para pelaku ekraf bisa naik kelas. Salah satu ukurannya, kata dia, adalah peningkatan jumlah pelaku yang sudah mengurus Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atas produknya.
“Hingga pertengahan 2025 sudah ada 79 pelaku yang mendaftarkan produknya secara legal. Ini menunjukkan perubahan mindset, mereka sudah paham pentingnya legalitas dan branding,” ujar Iin.
Meski terbentur keterbatasan anggaran daerah, Dispar Banda Aceh tak berhenti bergerak. Program pengembangan SDM terus berjalan tanpa harus bergantung pada dana APBK. Caranya: menggandeng komunitas, kampus, dan lembaga perbankan. “Ini kerja kolaboratif, bukan kerja sendiri,” tegasnya.
Salah satu wujud nyata dari semangat itu adalah program Ruang Muda Kreatif, yang diadakan akhir 2024. Melibatkan Duta Wisata Kota, komunitas pelaku wisata, dan pengrajin lokal, program ini melatih anak muda membuat kerajinan rotan, mengasah public speaking, hingga membangun personal branding di media sosial.
“Kami ajarkan cara bikin konten, memasarkan produk, sampai berjejaring dengan influencer lokal. Jadi, mereka bukan hanya kreatif, tapi juga adaptif terhadap pasar,” terang Iin.
Bukan hanya Gen Z yang dilibatkan. Banyak ibu rumah tangga kini ikut terjun ke dunia ekonomi kreatif. Mereka belajar membuat produk rumahan yang dikemas menarik, bahkan sudah bisa menjualnya secara online. “Ekraf itu bukan soal gaya hidup, tapi tentang keberdayaan ekonomi,” tambahnya.
Salah satu mitra yang ikut menggerakkan perubahan adalah komunitas Ekraf Go Digital, platform yang membantu UMKM memahami dunia digital marketing. Dari pelatihan membuat desain kemasan, mengelola media sosial, sampai membaca tren pasar online — semua diarahkan agar pelaku usaha lokal siap bersaing di era digital.
Kini, Banda Aceh tengah membangun fondasi ekosistem ekonomi kreatif yang lebih matang. Bukan hanya fokus pada event dan festival, tapi juga membangun rantai kolaborasi yang kuat antara pemerintah, komunitas, dan pelaku industri.
“Kalau hari ini kita memfasilitasi pelatihan dan kolaborasi, 5–10 tahun lagi Banda Aceh akan jadi rumah besar bagi pelaku kreatif,” ujar Iin optimistis.
Tahun 2025 ini, Dinas Pariwisata juga mulai menggarap sektor baru: pelatihan voice over bekerja sama dengan Voice Over Institute Indonesia. Tujuannya, memperluas peluang kerja dan menciptakan talenta kreatif baru di bidang komunikasi visual dan media digital.
Dari Gen Z yang jago bikin konten sampai ibu rumah tangga yang kini punya brand sendiri, semua bergerak dalam satu irama — kolaborasi.
“Banda Aceh bukan sekadar kota sejarah. Ini kota kreatif yang sedang tumbuh, dengan semangat gotong royong yang jadi bahan bakarnya,” tutup Iin.[***]