Ketiga, tedapat pula kelemahan dalam upaya melindungi korban dari ancaman, karena secara aturan, pelaku hanya bisa dihukum jika sudah melakukan tindakan pemerkosaan.
Bila hanya ancaman ataupun pemaksaan terhadap anak untuk melakukan perkosaan, maka tindakan tersebut belum bisa ditindak.
Keempat, dari sisi hukuman, ketiga bentuk hukuman bersifat pilihan, yaitu cambuk, denda atau penjara. Walaupun para ahli hukum mengklarifikasi tentang sifat pilihan ini, tetapi dalam praktek yangdilakukan, mayoritas pilihan hukuman yang diberikan adalah cambuk.
Untuk konteks kekerasan seksual yang memiliki sifat kekhususan dan sensitifitas yang tinggi, pemilihan hukuman cambuk tidak tepat, karena setelah dicambuk, pelaku akan bebas dan kembali bersama korban.
Secara psikologis, ini sangat memberikan tekanan berat pada korban karena ia harus bertemu kembali dengan pelaku, dan tentu saja ini membuka peluang besar untuk terjadinya intimidasi terhadap korban.
Selain itu, cambuk juga tidak memberikan efek jera dan mengabaikan keberpihakan pada korban.
Kelima, adanya pengabaian terhadap proses pemulihan korban, yaitu berkenaan dengan pemenuhan hak-hak korban.
Qanun Jinayat hanya mengatur hak korban pemerkosaan sebagaimana disebut dalam Pasal 51 Ayat 1, bahwa korban dapat meminta hak atas restitusi paling banyak 750 gram emas murni kepada pelaku.
Padahal anak korban kejahatan seksual berhak mengajukan hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.
Dalam prakateknya, restitusi dipahami sebagai denda, padahal restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan immateriil yang diderita korban atau keluarganya.
Selain itu, pengabaian hak korban sebagai kelompok yang terdzalimi juga bertentangan dengan tujuan utama syariat Islam.