“Di Sabang ada kehidupan religius yang hangat. Masyarakatnya masih menjaga tradisi zikir, kenduri, dan kegiatan keagamaan lainnya. MTQ akan menghidupkan kembali semangat itu sekaligus memperkenalkan wajah religius Sabang kepada seluruh Aceh,” ujarnya.
Selain nilai spiritual, Maghdalina juga menyoroti potensi ekonomi yang akan muncul dari penyelenggaraan MTQ. Ia menilai kegiatan besar seperti itu dapat memberikan efek berganda terhadap perekonomian lokal.
“Kegiatan keagamaan sebesar MTQ akan menggerakkan ekonomi masyarakat. UMKM bisa berkembang, hotel dan penginapan akan ramai, sektor transportasi dan kuliner ikut bergerak. Bahkan wisata religi bisa menjadi daya tarik baru bagi Sabang,” katanya optimistis.
Lebih jauh, Ketua DPRK Sabang itu mengaitkan wacana tersebut dengan sejarah panjang Sabang sebagai pelabuhan penting di masa lalu, terutama saat menjadi titik keberangkatan jamaah haji dari berbagai wilayah Nusantara menuju Tanah Suci. Pada masa kolonial Belanda, Sabang dikenal sebagai pelabuhan transit utama jamaah haji, sebelum mereka menempuh perjalanan panjang menuju Mekkah.
“Sabang pernah menjadi pintu menuju Mekkah bagi umat Islam Indonesia. Dari sini mereka berangkat dengan doa dan harapan, membawa niat suci menunaikan rukun Islam kelima. Jadi ketika sekarang kita ingin menghadirkan MTQ di Sabang, itu seperti melanjutkan kembali napas spiritual yang dulu pernah berdenyut di sini,” kenang Maghdalina.
Kisah sejarah ini, lanjutnya, bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi menjadi pijakan moral mengapa Sabang layak menjadi tuan rumah MTQ Aceh 2026. “Kita ingin MTQ nanti tidak hanya menjadi ajang seremonial, tapi juga punya nilai sejarah, nilai spiritual, dan nilai ekonomi. Sabang memiliki semuanya,” tegasnya.
