Habanusantara.net – Anak muda Banda Aceh kini bukan cuma sibuk di kafe atau nongkrong di tempat hits. Banyak di antara mereka justru sibuk di dapur, di studio kecil, atau di pojok gampong, menciptakan karya yang bernilai ekonomi tinggi. Dari kuliner unik sampai kerajinan tangan khas Aceh, generasi kreatif inilah yang perlahan menggerakkan denyut baru ekonomi kota.
Pemerintah Kota Banda Aceh pun menyadari potensi besar ini. Melalui Dinas Pariwisata, khususnya Bidang Ekonomi Kreatif, berbagai program digulirkan untuk mendorong anak muda menjadi pelaku inovasi dan pencipta lapangan kerja baru di sektor kreatif.
Kepala Bidang Ekonomi Kreatif Dispar Banda Aceh, Iin Muhaira, mengatakan generasi kreatif hari ini bukan sekadar pelengkap, tapi motor utama pertumbuhan ekonomi ke depan.
“Anak muda Banda Aceh harus kita dorong agar berani jadi pelaku usaha di sektor kreatif. Ekonomi kreatif bukan hanya menjanjikan secara ekonomi, tapi juga jadi ruang baru untuk inovasi dan ekspresi budaya lokal,” ujarnya.
Menurut Iin, penting ada perubahan cara pandang di masyarakat Aceh, terutama soal makna kesuksesan. “Kita ingin menggeser mindset bahwa sukses itu bukan cuma jadi PNS. Pelaku ekraf bisa lebih maju, lebih mandiri, bahkan menciptakan lapangan kerja bagi orang lain,” jelasnya.
Langkah konkret yang kini berjalan adalah pengembangan delapan desa wisata di Banda Aceh yang difokuskan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kreatif berbasis masyarakat. Desa-desa itu dijadikan contoh bagaimana potensi lokal bisa dikelola dengan cara modern namun tetap berakar pada budaya Aceh.
“Kita punya delapan desa wisata yang jadi pilot project. Di sana kita ajari masyarakat, terutama anak muda, bagaimana menggali potensi gampong masing-masing—mulai dari kuliner, kerajinan, hingga wisata alam,” kata Iin.
Dispar juga menggandeng Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) di tiap desa untuk dilatih tentang manajemen sumber daya manusia, pengembangan produk lokal, dan promosi digital.
“Kalau desa maju, masyarakat juga ikut tumbuh. Dengan begitu, angka pengangguran menurun karena warga punya aktivitas dan penghasilan yang jelas,” tambahnya.
Pelatihan Berjenjang: New Skilling, Upskilling, dan Reskilling
Iin menjelaskan, penguatan SDM di sektor kreatif dilakukan bertahap lewat tiga strategi: new skilling, upskilling, dan reskilling.
Langkah ini membuat pelaku ekraf tak hanya bisa bertahan, tapi juga terus berkembang menghadapi perubahan zaman.
Salah satu contoh suksesnya terlihat di Gampong Punge Blang Cut, tempat pelatihan pembuatan baju tari Aceh dengan teknik bordir digelar pada 2023. Kini, warga setempat sudah bisa memproduksi busana khas Aceh secara mandiri. Bahkan, gampong itu telah ditetapkan sebagai Gampong Kerajinan oleh Dekranasda Kota Banda Aceh.
Tak hanya fokus di lapangan, Dispar juga mendorong setiap pelaku ekonomi kreatif agar melek digital. Iin bilang, promosi digital kini jadi kunci keberhasilan usaha kreatif, mulai dari kopi Gayo, kerajinan tangan, hingga produk wisata lokal.
“Kita dorong semua potensi lokal dikemas secara digital agar bisa bersaing di level nasional bahkan global,” tegasnya.
Ia menilai, saat ini adalah momen emas bagi generasi muda untuk naik kelas. Karena itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan sektor swasta harus terus diperkuat.
Banda Aceh kini juga memiliki banyak komunitas seni dan kreatif yang aktif menggelar kegiatan mandiri. Pemerintah hadir bukan untuk mengatur, tapi memfasilitasi.
“Kami merangkul semua komunitas seni. Mereka bagian dari ekosistem ekraf yang nggak bisa dipisahkan. Tugas kami mendukung agar karya-karya mereka makin dikenal luas,” ujar Iin.
Melalui berbagai program tersebut, Dinas Pariwisata optimis Banda Aceh akan terus tumbuh sebagai kota yang modern namun tetap berakar kuat pada budaya dan nilai lokal.
“Generasi kreatif Banda Aceh adalah modal utama menuju kota berdaya saing. Kita hanya perlu terus membuka ruang, memberi dukungan, dan membangun ekosistem yang sehat agar mereka bisa tumbuh bersama,” tutup Iin.[***]




















