ADVERTORIAL

Tantangan Revisi Qanun Jinayat dan Penyusunan Qanun Hukum Keluarga

×

Tantangan Revisi Qanun Jinayat dan Penyusunan Qanun Hukum Keluarga

Sebarkan artikel ini
Kepala Bidang Hukum Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Husni
Kepala Bidang Hukum Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Husni

Habanusantara.net, Kepala Bidang Hukum Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Husni menjelaskan bahwa revisi Qanun Jinayat bertujuan memperkuat sanksi hukuman (Uqubat) agar lebih efektif memberi efek jera. Menurutnya, sanksi dalam Qanun Jinayat, terutama untuk kasus pemerkosaan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak, masih terlalu lemah.

“Kami merevisi agar semua kasus yang seharusnya tertera dalam qanun tidak hilang, sehingga memperkuat hukum Syariat,” katanya.

Sanksi yang sebelumnya hanya berupa cambuk, sekarang dirancang agar tetap ada dan ditambah hukuman lain. “Misalnya, pemerkosaan dihukum cambuk dan penjara sekaligus, tidak dijadikan pilihan lagi, atau digabung dengan denda,” tambahnya.

Revisi dilakukan karena anggapan bahwa hukuman dalam Qanun Jinayat terlalu ringan. Namun, rancangan qanun ini belum disetujui oleh pusat. “Kami ingin memperkuat qanun dan melindungi anak serta perempuan tanpa mengurangi hukum dalam Qanun Jinayat yang adil bagi pelaku dan korban,” kata Husni.

Untuk Qanun Keluarga, ruang lingkupnya meliputi hukum pernikahan, mahar, larangan nikah, perjanjian pernikahan, nikah hamil, poligami, pencegahan pernikahan, pembatalan pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, harta kekayaan dalam pernikahan, pengasuhan anak, perwalian, perceraian, masa iddah, hukum kewarisan, wasiat, hibah, pernikahan antar warga negara, pembiayaan, dan sanksi terhadap pelanggaran dalam qanun hukum keluarga.

Namun, penyusunan Qanun Keluarga belum selesai karena belum ada sinkronisasi dengan pemerintah pusat. “Pusat belum memahami keinginan kami. Kami bukan ingin melemahkan undang-undang di atasnya, tetapi ingin mengakomodasi yang belum tertampung dalam regulasi lain,” ucap Husni.

Kemudian juga kurang memahami menerapkan hukum sesuai Syariat Islam yang kurang koordinasi tentang kekhususan Aceh.

Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa dalam melindungi perempuan dan anak, rancangan Qanun hukum syariat mengatur tentang pernikahan yang harus melalui catatan resmi negara kalau tidak diberikan sanksi.

“Karena kalau tidak diberikan sanksi harus kalau tidak diberikan sanksi akan berdampak kepada anak dan keluarga begitu juga dengan perceraian, harus di MS kalau tidak tidak diberikan sanksi oleh karena nanti bikin rugi karena tidak ada akta cerai,” jelasnya.

Kemudian juga syarat tambahan dalam pernikahan seperti keterangan bebas narkoba, lantaran narkotika memberi efek negatif.

Selain itu penyusunan masalah poligami, dalam Qanun Hukum Keluarga, malahan lebih ketat lagi, jadi tidak perlu dikhawatirkan lantaran hal baru yang tercantum yang diatur untuk ketahanan keluarga dalam melindungi anak dan perempuan.

Sejauh ini, ia beranggapan bahwa partisipasi dari masyarakat terkait penyusunan ini tidak banyak menimbulkan kontra.

Ia berharap dengan adanya koordinasi dengan semua pihak, penyusunan Qanun ini dapat dikerjakan bersama sesuai tupoksi masing-masing.

“Jadi jika ada Qanun ini, maka ada wadah yang pedoman yang harus kita lakukan dalam penerapan syariat Islam,” kata Husni.

Husni menjelaskan dalam proses penyusunan Qanun Syariat Islam di Aceh ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan dimana yang pertama yaitu semua elemen terlibat dalam pelaksanaannya.

Kedua harus ada pedoman yang menjadi acuan target dan ketiga yakni pemahaman atau persepsi yang sama, bukan lagi persoalan pro dan kontra tapi bagaimana yang lemah diperkuat.

Ketua Majelis Permusyawaratan Aceh (MPU), Tgk. H. Faisal Ali mengatakan bahwa implementasi hukum syariat Islam di Aceh saat ini berjalan di posisi yang biasa, tidak berjalan cepat ataupun lambat. Ia berharap seluruh aspek dalam kehidupan di Aceh tidak dipisahkan dengan nilai-nilai agama.

“Kita punya pilihan hukum, baik untuk non muslim, walaupun tidak diterima Qanun kita di pusat, Qanun yang telah ada pun bisa kita jalankan,” katanya.

Oleh karena itu ia berharap seluruh elemen di Aceh untuk tidak meninggalkan atau memisahkan aktivitas sesuai dengan syariat.

Sedangkan masyarakat yang diwawancarai, Maulian warga Banda Aceh mengatakan bahwa potensi pelanggaran Syariat Islam masih banyak terjadi.

“Masih banyak pelanggaran dari hukum syariat yang telah ditetapkan, seperti zina judi, oleh karena itu kita berharap melakukan pengawasan secara intensif untuk menjalankan aturan yang telah ada sebelumnya,” ujar Maulian. [***]

Tinggal Komentar Anda
Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close