ADVERTORIALArpus

Gerakan Aceh Membaca: Strategi Jitu Lawan Krisis Literasi di Era Digital

×

Gerakan Aceh Membaca: Strategi Jitu Lawan Krisis Literasi di Era Digital

Sebarkan artikel ini

Habanusantara.net, – Di tengah serbuan gawai dan media sosial yang kian menggeser kebiasaan membaca, secercah harapan muncul dari dataran tinggi Aceh. Kamis, 24 April 2025, di halaman Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bener Meriah, sebuah gerakan literasi baru resmi diluncurkan.

Namanya Gerakan Aceh Membaca, sebuah inisiatif besar yang digagas oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh (DPKA), bertujuan menumbuhkan kembali budaya baca di kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang kini hidup di tengah derasnya arus digitalisasi.

Gerakan ini sebuah langkah nyata yang melibatkan berbagai pihak strategis.

Kepala DPKA, Edi Yandra, menegaskan bahwa minat baca di Aceh perlu ditingkatkan, dan ini hanya bisa dilakukan jika semua pihak bergerak bersama.

“Gerakan Aceh Membaca bertujuan untuk meningkatkan minat baca dan literasi masyarakat Aceh, khususnya di kalangan generasi muda kita. Program ini melibatkan berbagai pihak, seperti Perpustakaan Nasional, DPKA, dan sekolah-sekolah,” ujar Edi Yandra, saat menyampaikan sambutan peluncuran program.

Ia optimis gerakan ini akan menjadi penggerak semangat membaca masyarakat, bukan hanya di Bener Meriah, tapi juga menjalar ke seluruh pelosok Aceh. Baginya, membaca adalah akar dari segala pengetahuan, dan untuk membangun masa depan yang cerdas, budaya membaca harus diperkuat sejak dini.

Di tengah acara peluncuran, suasana kian hidup dengan hadirnya berbagai kegiatan yang menarik minat pelajar. Ada lomba mewarnai tingkat SD sederajat, pelatihan membaca cepat, hingga pelatihan penggunaan aplikasi Inlislite—sebuah sistem otomatisasi perpustakaan—untuk para pengelola perpustakaan sekolah. Semua ini dirancang agar literasi bukan hanya teori, tapi menjadi praktik nyata yang menyenangkan.

Plt Staf Ahli Bidang Perekonomian, Keuangan, dan Pembangunan Setdakab Bener Meriah, Muzakarah, yang turut hadir dalam acara tersebut, mengungkapkan apresiasi tinggi terhadap peluncuran program tersebut. Ia merasa bangga karena Kabupaten Bener Meriah dipilih menjadi salah satu lokasi penyelenggaraan Gerakan Aceh Membaca.

“Sebagai pemerintah daerah, kami sangat mendukung gerakan ini, karena ini merupakan upaya nyata membumikan kegemaran membaca di masyarakat, khususnya di Bener Meriah,” ucap Muzakarah.

Dukungan Pemkab Bener Meriah memang bukan sekadar ucapan. Tahun lalu, daerah ini sudah menerima bahan bacaan berkualitas dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Dua Perpustakaan Komunitas masing-masing menerima 500 judul buku, sedangkan 30 Perpustakaan Kampung dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) mendapatkan 1.000 judul buku serta rak buku sebagai fasilitas pendukung.

Tak berhenti di situ, tahun ini giliran 44 Perpustakaan Kampung, TBM, dan perpustakaan di rumah ibadah yang akan menerima bantuan serupa.

Jika dihitung, maka pada akhir tahun 2025, Bener Meriah akan memiliki 76 perpustakaan kampung dan rumah ibadah yang tersebar di 10 kecamatan. Ini merupakan loncatan besar dalam membangun ekosistem literasi yang kuat di daerah.

Bagi sebagian orang, literasi mungkin hanya dianggap sebagai urusan sekolah. Namun dalam pandangan Edi Yandra, literasi jauh lebih luas. Literasi adalah kunci pembebasan dari ketertinggalan. Literasi bukan hanya tentang bisa membaca, tapi juga memahami, menganalisis, bahkan menciptakan gagasan baru. Terlebih di era digital, di mana banjir informasi membuat masyarakat rentan terjebak dalam hoaks jika tidak memiliki kemampuan literasi yang memadai.

“Kalau anak-anak kita hanya mengandalkan informasi dari media sosial tanpa kemampuan literasi yang baik, maka kita sedang memupuk generasi yang mudah terombang-ambing oleh informasi sesat. Gerakan ini menjadi upaya menyelamatkan generasi kita,” tambah Edi dengan nada serius.

Aceh memang memiliki tantangan besar di bidang literasi. Menurut berbagai survei, tingkat minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Meski infrastruktur dan teknologi terus berkembang, minat terhadap buku tidak berkembang secepat itu. Namun Bener Meriah memberi angin segar.

Di tengah keterbatasan, mereka membuktikan bahwa dengan semangat kolaborasi, perubahan bisa dimulai dari desa, dari kampung, bahkan dari sudut rumah ibadah.

Gerakan ini juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mewujudkan transformasi literasi. Memberi bantuan buku dan rak adalah langkah awal, tapi yang lebih penting adalah mendorong masyarakat untuk menghidupkan perpustakaan itu—membaca, berdiskusi, menulis, dan berbagi. Inilah makna literasi sesungguhnya.

Muzakarah menegaskan bahwa keberadaan 76 perpustakaan kampung dan rumah ibadah harus dijadikan pusat kegiatan literasi masyarakat, bukan sekadar tempat menyimpan buku.

“Kami ingin tempat-tempat ini menjadi tempat berkumpulnya ide dan pemikiran. Tempat di mana anak-anak kita bisa menemukan imajinasi dan harapan,” tuturnya.

Langkah yang diambil oleh Aceh ini bisa menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia. Di tengah dunia yang semakin cepat berubah, kemampuan membaca dan memahami informasi menjadi keterampilan yang mutlak dibutuhkan.

Gerakan Aceh Membaca adalah jawaban atas krisis literasi yang diam-diam menggerogoti akar pendidikan bangsa. Bukan sebuah gerakan sesaat, tapi benih yang ditanam untuk masa depan yang lebih cerdas, kritis, dan berdaya saing.[Adv]

Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close