Habanusantara.net, Polemik pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara melalui SK Menteri Dalam Negeri Nomor 100.1.1.1-2138 Tahun 2022 memicu amarah publik Aceh.
Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Besar—saat ini telah ditetapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, berdasarkan Keputusan Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tertanggal 25 April 2025.
Menanggapi hal tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Kota Banda Aceh menilai keputusan tersebut bukan sekadar kesalahan administrasi, melainkan bentuk ‘perampasan wilayah’ yang nyata dan terstruktur.
Anggota DPRK Banda Aceh, Abdul Rafur, mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak bisa dianggap remeh.
“Ini bukan perkara batas wilayah biasa. Ini soal kedaulatan daerah. Empat pulau itu secara historis, geografis, dan administratif adalah milik Aceh. Apa yang dilakukan pemerintah pusat adalah bentuk penghilangan hak Aceh secara sepihak. Ini perampasan, bukan administrasi,” ujarnya tegas, Sabtu (14/6/2025).
Menurut Rafur, ada indikasi kuat bahwa SK tersebut tidak disusun berdasarkan verifikasi lapangan yang transparan, melainkan muncul tiba-tiba dan menimbulkan kecurigaan akan adanya kepentingan terselubung.
“Kami melihat ada pola sistematis yang melemahkan posisi Aceh secara teritorial. Kalau hari ini empat pulau bisa ‘dipindahkan’ begitu saja ke provinsi lain, siapa yang bisa jamin besok giliran siapa lagi?” kata politisi vokal itu.
Rafur juga mendesak Pemerintah Aceh agar tidak lagi bersikap diam. Ia menegaskan bahwa Gubernur Aceh harus segera menyatakan sikap terbuka dan melayangkan protes resmi ke Kemendagri.
“Ini bukan waktu untuk diplomasi diam-diam. Kami ingin sikap tegas, bukan basa-basi. Jika Gubernur Aceh benar-benar pro rakyat, segera tempuh jalur hukum. Bawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi jika perlu,” ujar Politisi Nasdem itu dengan Nada Berapi-api.
Rafur menambahkan, DPRK Banda Aceh siap mendukung langkah-langkah konstitusional demi mengembalikan keempat pulau tersebut ke peta Aceh.
Abdul Rafur juga menyoroti bahwa SK Kemendagri Nomor 2138 itu tidak melibatkan proses konsultasi publik, apalagi dengan tokoh adat dan masyarakat lokal yang seharusnya menjadi pemilik sah wilayah tersebut.
“Kalau SK ini lahir dari kajian sepihak tanpa validasi geografis dan historis yang benar, maka keabsahannya layak dipertanyakan. Kami menduga kuat ini produk cacat hukum yang bisa dibatalkan di pengadilan,” tegasnya.
Ia mengingatkan, jangan sampai Aceh kembali menjadi korban kebijakan pusat yang mengorbankan wilayah demi kepentingan politik dan investasi luar.
“Ini bukan soal peta. Ini soal martabat Aceh. Kami tidak akan diam,” tegas Rafur.[***]




















