Habanusantara.net – Ketua Mahkamah Syariah Aceh Besar, Redha Valevi, kini tengah menjadi sorotan tajam masyarakat setelah kontroversi terkait penentuan awal puasa Ramadan 2025. Keputusan Mahkamah Syariah Aceh Besar yang menolak kesaksian dua saksi yang melihat hilal pada 18.56 WIB, menyulut protes luas dan menyebabkan perbedaan awal puasa di kalangan umat Islam di wilayah tersebut.
Puluhan spanduk yang berisi kritik terhadap kepemimpinan Redha Valevi mulai bermunculan di berbagai kecamatan di Aceh Besar, termasuk Lambaro, Seulimeum, dan Kota Jantho. Salah satu spanduk yang terpampang di Simpang Jantho, Seulimeum, bahkan mencantumkan foto Ketua Mahkamah Syariah Aceh Besar dengan tulisan yang mengecam sikapnya. “Propaganda menghancurkan keadilan, pecah belah umat,” demikian bunyi salah satu pesan protes tersebut.
Kontroversi bermula ketika Mahkamah Syariah Aceh Besar tidak menerima kesaksian dua saksi yang ditugaskan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) untuk melakukan pemantauan hilal Ramadan. Kedua saksi yang mengaku melihat hilal tersebut melaporkan pengamatan mereka pada pukul 18.56 WIB, namun Mahkamah Syariah menolak laporan itu dengan alasan tidak memenuhi syarat. Sebagai penggantinya, Mahkamah Syariah hanya menerima saksi dari kalangan ulama dayah setempat yang memutuskan hilal belum terlihat.
Keputusan ini langsung memicu perbedaan pendapat di tengah masyarakat. Sebagian besar umat Islam di Aceh Besar memulai puasa pada hari Sabtu, sementara yang lainnya melakukannya pada hari Minggu. Hal ini menambah ketegangan di kalangan masyarakat dan menciptakan keraguan terhadap keputusan yang diambil oleh Mahkamah Syariah.
Salah satu spanduk yang tersebar di berbagai lokasi di Aceh Besar dengan tegas menuntut agar Mahkamah Agung RI segera mengevaluasi kepemimpinan Mahkamah Syariah Aceh Besar. “Redha Valevi gagal pimpin Mahkamah Syariah, Mahkamah Agung segera copot!” begitu bunyi salah satu pesan yang terpampang di beberapa titik strategis di wilayah tersebut.
Spanduk-spanduk lainnya juga menekankan bahwa Mahkamah Syariah Aceh Besar bukan milik pribadi dan menyerukan untuk menegakkan keadilan. “Mahkamah Syariah Aceh Besar bukan milik pribadi, tegakkan keadilan!” demikian seruan yang tercetak pada beberapa spanduk yang muncul di beberapa lokasi.
Dalam kesempatan terpisah, Rahadian, Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Publik Diskominfotik Aceh Besar, menanggapi situasi ini dan mengungkapkan bahwa kontroversi terkait penentuan awal Ramadan menunjukkan pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan di tingkat lembaga peradilan. “Penentuan awal puasa merupakan isu yang sangat sensitif bagi masyarakat. Keputusan yang tidak disepakati bersama akan menyebabkan perpecahan,” ungkapnya.
Selain polemik hilal, Mahkamah Syariah Aceh Besar juga tengah menghadapi sejumlah sorotan terkait beberapa kasus sengketa harta warisan yang sedang ditangani. Masyarakat merasa bahwa beberapa putusan yang dikeluarkan tidak mencerminkan keadilan, dan berpihak pada kelompok tertentu, menambah ketidakpercayaan terhadap lembaga tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, Mahkamah Syariah Aceh Besar belum memberikan tanggapan resmi terkait masalah ini. Namun, protes masyarakat yang semakin meluas menunjukkan ketidakpuasan terhadap cara pengelolaan Mahkamah Syariah yang dipimpin oleh Redha Valevi. Warga berharap Mahkamah Agung RI dapat turun tangan mengevaluasi kinerja Mahkamah Syariah Aceh Besar untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil dapat mematuhi prinsip keadilan, serta mendahulukan kepentingan umat secara keseluruhan.[]