Habanusantara.net, “radio sudah mati !”, “radio sudah ditinggalkan !” beberapa kalimat yang sering kali terdengar di tengah era digital sekarang.
Sebagai salah satu media massa yang berperan sebagai wadah dalam menyebarkan pesan, informasi dan hiburan kepada masyarakat, radio memiliki karakteristik terasa dekat antara penyiar dan pendengar dengan menggunakan suara sebagai modal utama dalam menstimulasi, mempengaruhi dan membujuk khalayak.
Menurut survei Nielsen Consumer Media View pada tahun 2017, radio menduduki urutan ke empat sebagai media di Indonesia dengan jumlah penetrasi mencapai 96 persen dan televisi yang masih menjadi media utama.
Hal ini menunjukkan bahwa radio masih tetap eksis dan masih banyak diminati oleh Generasi Z dan Millenials.
Kemajuan teknologi dan informasi justru menjadi peluang sekaligus tantangan bagi radio dalam mempertahankan eksistensinya.
Radio membutuhkan kreativitas dan keahlian untuk tetap bisa bersaing di antara media baru lainnya dengan mempertahankan kredibilitasnya dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
Radio harus bisa mengembangkan program-program dan materi siaran yang menarik serta dapat mengikuti berbagai trend yang sedang terjadi.
Salah satunya dengan menciptakan website streaming yang berisikan siaran radio yang di upload kembali dan dapat dijadikan sebagai program podcast.
Selain itu, radio juga bisa bergandengan dengan berbagai platform music seperti Joox dan Spotify untuk memasukkan berbagai program siaran radio sehingga masyarakat mudah dalam mengakses serta dinilai dapat menguatkan reputasi dan eksistensi radio di era media baru.
Media sosial juga dapat menjadi perantara bagi penyiar dengan pendengarnya. Melalui akun media sosial, radio dapat meng-update berbagai hal seperti jadwal siaran, program yang akan disiarkan bahkan sekedar chit-chat dengan pendengar untuk membangun kedekatan emosional agar pendengar setia dengan radio.
Yang terakhir tentu saja radio harus memilih kualitas penyiar yang memiliki karakteristik dan suara yang menarik agar menjadi daya tarik yang kuat di ingatan para pendengarnya.
Berbeda halnya dengan koran, hadirnya media massa hari ini membuat peran media cetak di masa kini telah digantikan oleh media digital.
Bahkkan bila kita bertanya pada diri sendiri kapan terakhir kalinya membaca koran, mungkin kita akan menjawab “tidak ingat”.
Fenomena ini menjadi fenomana global yang menandakan perubahan dalam indutri media atau pers yang didukung oleh tranformasi teknologi. Dimasa kini para pembaca dapat mempersonalisasi pilihan berita yang ingin diketahui dengan real time tanpa menunggu edisi koran cetak berikutnya.
Selain itu, genarasi pemabaca saat ini juga lebih tertarik dengan budaya waching melalui multimedia dibandingkan reading melalui singlemedia.
Tidak hanya perubahan kebiasaan membaca, tingginya harga kertas turut mempengaruhi indutri media cetak untuk betahan dari gempuran media digital.
Lembaga pers atau pelaku media cetak mau tidak mau harus membiasakan diri dengan perubahan zaman dan memnfaatkan peluang yang ditawarkan oleh teknologi.
Bila tidak satu persatu media cetak koran baik nasional maupun lokal ambruk tersisihkan oleh kemudahan media digital.
Salah satu dampak lainnya dari meredup koran adalah sulitnya agen dan penjual koran alam mempertahankan relevansi mereka.
Rasanya sudah sangat jarang melihat para loper atau penjual koran menawarkan koran cetak di ruang publik. Beratnya tantangan mulai dari persaingan dari platform berita online yang menyediakan akses cepat hingga berubahnya model bisnis koran ke berlangganan digital.
Meskipun demikian penjual koran atau loper tetap memainkan peran penting dalam menghadirkan layanan personal yang berorientasi pada pelanggan.
Penulis: Zahratul Idami dan Nisa Makrufa