Oleh : Hidayat, Mahasiswa Program Doktor Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas, serta Dosen Hukum pada Universitas Malikussaleh.
HABANUSANTARA.NET – Publik kembali dikejutkan oleh polemik utang kereta cepat Jakarta-Bandung yang mencapai Rp 113 triliun. Menteri Keuangan Andi Purbaya di era Presiden Prabowo dengan tegas menolak menggunakan APBN untuk membayar utang ini. Sikap ini bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut prinsip keadilan dan tanggung jawab pada rakyat.
Kasus utang Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) yang menjadi sorotan utama pada Oktober 2025 menunjukkan kompleksitas masalah pembiayaan proyek strategis. Proyek Whoosh menanggung beban utang sekitar USD 7,2 miliar atau Rp 116-120 triliun dari China Development Bank. Yang memprihatinkan, utang ini membengkak jauh dari estimasi awal USD 6 miliar akibat pembengkakan biaya selama konstruksi.
PT Kereta Api Indonesia dan konsorsium BUMN Indonesia sebagai pemegang saham mayoritas di KCIC kini menghadapi kerugian triliunan rupiah. Beban bunga dan cicilan utang mencapai Rp 2 triliun per tahun, menjadi “bom waktu” yang mengancam kesehatan keuangan empat BUMN pelaksana proyek.
Menteri Keuangan bersama berbagai pejabat dan pengamat menolak penggunaan APBN untuk menyelamatkan proyek ini. Kekhawatiran utamanya adalah risiko fiskal yang dapat membebani keuangan negara. Seperti diingatkan Mahfud MD, kegagalan bayar utang bisa berujung pada klaim aset strategis oleh China, mirip kasus yang pernah terjadi di Sri Lanka.
Persoalan utang KCIC menjadi perdebatan politik dan ekonomi nasional. Pemerintah saat ini berupaya mencari skema pembayaran tanpa menambah beban APBN, sementara DPR dan publik menuntut restrukturisasi utang serta transparansi penuh terkait pelaksanaan dan risiko proyek strategis nasional tersebut.
Isinya
Kilas Balik Proyek Kereta Cepat
Proyek kereta cepat pertama kali digagas tahun 2016 saat pemerintahan Jokowi, dengan Menteri BUMN Rini Soemarno sebagai penggerak utama. Ide awalnya sederhana: ingin memiliki kereta cepat seperti di negara maju untuk membuktikan Indonesia bisa bersaing di dunia.
Pemilihan China sebagai mitra didasari tawaran paket lengkap teknologi plus dana. Jepang yang sebelumnya ditawari dinilai kurang fleksibel. Sayangnya, pilihan ini seperti buah simalakama – menggiurkan tapi penuh risiko.
Filsafat Pembangunan yang Tersesat
Dalam perspektif filsafat, proyek ini menggambarkan bagaimana kita terjebak dalam what philosophers call “the tyranny of immediate gratification” – tirani kepuasan sesaat. Dalam filsafat, setiap keputusan harusnya mempertimbangkan masa depan. Proyek kereta cepat justru mengabaikan prinsip ini. Seperti makan buah, nikmat di awal tapi pahit di akhir. Rakyat kecil yang akhirnya menanggung akibatnya. Kita mengorbankan masa depan demi kepuasan hari ini. Seperti orang tua yang menghabiskan warisan anaknya demi gaya hidup mewah.
Filsuf John Rawls dalam Teori keadilannya menekankan prinsip bahwa kebijakan harus menguntungkan mereka yang paling tidak beruntung. Tapi dalam kasus kereta cepat, justru rakyat kecil yang akan menanggung beban melalui pemotongan anggaran untuk sektor-sektor vital. Alasan Andi Purbaya menolak bayar utang pakai APBN sangat masuk akal. Uang APBN adalah uang rakyat, harusnya untuk kepentingan rakyat banyak. Membayar utang proyek mewah dengan uang rakyat itu tidak adil.
Pertanyaan tentang tanggung jawab moral menjadi sentral. Semua pihak yang terlibat dalam keputusan awal harus bertanggung jawab. Terutama mereka yang memiliki kewenangan tertinggi saat proyek dimulai, karena merekalah yang paling bertanggung jawab secara moral kepada rakyat.
Apakah layak utang dibayar pakai APBN? Tentu tidak. Bayangkan, uang untuk sekolah anak, berobat orang sakit, bantu rakyat miskin, dipakai bayar utang proyek mewah. Itu namanya tidak punya hati nurani.
Pelajaran dan Harapan Ke Depan
Filsuf John Rawls mengatakan, keadilan harus memihak yang lemah. Dalam kasus kereta cepat, justru rakyat lemah yang dirugikan. Uang yang harusnya untuk mereka, malah dipakai bayar utang proyek elite. Pembangunan seharusnya membuat rakyat makin merdeka, bukan makin terbelenggu utang. Filosofi ini yang seharusnya jadi pegangan. Sayangnya, proyek kereta cepat justru membuat Indonesia makin tergantung pada asing.
Sikap Andi Purbaya patut diacungi jempol. Sebagai menteri keuangan, dia berani lindungi uang rakyat. Ini bukti integritas dan keberpihakan pada rakyat kecil. Namun, penolakan bayar utang bukan berarti diam saja. Pemerintah harus aktif cari solusi. Mungkin dengan mencari skema pembiayaan baru yang lebih adil, atau mengoptimalkan pendapatan dari operasional kereta cepat.
Pelajaran berharga dari kasus ini: jangan tergiur megahnya infrastruktur tapi lupa kemampuan sendiri. Pembangunan harus sesuai kebutuhan, bukan gengsi. Dan yang terpenting, rakyat jangan sampai jadi tumbal. Pembangunan sejati tidak diukur dari megahnya infrastruktur, tapi dari sejauh mana ia meningkatkan kesejahteraan rakyat. Filsuf Indonesia, Soedjono Dirdjosisworo, mengingatkan bahwa hukum dan kebijakan harus mengabdi pada keadilan sosial, bukan pada gengsi semata.
Penutup
Kisah kereta cepat harus menjadi pelajaran berharga. Jangan sampai proyek-proyek prestisius lainnya mengulangi kesalahan yang sama. Setiap rencana pembangunan harus melalui uji tuntas: apakah benar-benar dibutuhkan rakyat? Apakah manfaatnya sebanding dengan biayanya? Dan yang terpenting: apakah kita tidak membebani generasi mendatang?. Kesimpulannya, proyek kereta cepat banyak melanggar prinsip keadilan. Baik keadilan untuk rakyat sekarang, maupun untuk anak cucu kita nanti. Ini harus jadi pelajaran berharga untuk proyek-proyek selanjutnya. Akhir kata, pembangunan yang benar adalah yang membuat rakyat sejahtera, bukan yang membuat rakyat terbebani. Kereta cepat mungkin penting, tapi yang lebih penting adalah keadilan dan kesejahteraan untuk semua rakyat Indonesia.***