Habanusantara.net, – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengumumkan putusan terkait permohonan uji materi terkait sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam sidang yang digelar di gedung MK hari ini, hakim ketua Anwar Usman menyatakan bahwa MK menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Putusan tersebut menjaga keberlanjutan penggunaan sistem pemilihan umum proporsional terbuka dalam pemilu. MK mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu yang tidak semata-mata dipengaruhi oleh pilihan sistem pemilu. Hakim konstitusi Sadli Isra menjelaskan bahwa dalam setiap sistem pemilu, terdapat kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistem secara keseluruhan.
Mahkamah menganggap bahwa perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, termasuk kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, serta hak dan kebebasan berekspresi. MK berpendapat bahwa solusi terhadap permasalahan yang muncul dapat diatasi melalui upaya perbaikan tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa putusan ini tidak sepenuhnya bulat. Hakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion terhadap putusan tersebut.
Permohonan uji materi diajukan pada 14 November 2022 oleh lima orang yang keberatan dengan sistem pemilu proporsional terbuka. Mereka menginginkan penerapan sistem proporsional tertutup, di mana pemilih hanya dapat memilih partai politik tanpa memilih calon anggota legislatif secara langsung. Dengan demikian, partai politik akan memiliki kendali penuh dalam menentukan wakil yang duduk di parlemen.
Para pemohon terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi (Bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka telah ditunjuk pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa hukum.
Meskipun hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menginginkan sistem proporsional tertutup, mayoritas partai politik lainnya meminta agar MK tidak mengubah sistem pemilu yang saat ini berlaku. Mereka menegaskan bahwa sistem pemungutan suara yang digunakan dalam pemilu adalah kewenangan pembuat undang-undang, yaitu presiden dan DPR. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah sistem pemilu melalui putusan uji materi.[]