Habanusantara.net – Di sebuah gang kecil di Gampong Laksana, Banda Aceh, aroma khas rebusan daun cincau menyeruak dari sebuah rumah produksi sederhana. Di sanalah Djoek Fa, pria berusia 67 tahun, dengan sabar mengawasi proses pembuatan cincau hitam yang telah diwariskan turun-temurun dalam keluarganya.
Usaha ini bukan hal baru. Sudah lebih dari 50 tahun, keluarganya memproduksi cincau yang dikenal masyarakat dengan nama “Cincau Gampong Baroe”. Nama itu diambil dari lokasi awal usaha ini dimulai, yakni di Gampong Baro, Pasar Aceh, oleh sang kakek. Kini, usaha tersebut telah berpindah ke lokasi yang lebih luas di Gampong Laksana, demi memenuhi permintaan yang terus meningkat.
Djoek Fa merupakan generasi ketiga yang melanjutkan usaha ini. Ia mulai aktif mengelola produksi sejak 1997, menggantikan sang ayah. Kini, ia dibantu oleh anaknya, Suwanto, serta enam orang pekerja lainnya. Meski usianya tidak lagi muda, semangat Djoek Fa untuk menjaga cita rasa cincau warisan leluhurnya tidak pernah luntur.
“Dulu di Pasar Aceh tempatnya sempit. Saya pindah ke sini supaya bisa lebih leluasa produksi,” ujarnya
Bagi masyarakat Aceh, cincau bukan hanya sekadar makanan penutup atau pelengkap minuman dingin. Cincau telah menjadi bagian dari budaya kuliner lokal, apalagi saat bulan Ramadan tiba.
Maka tak heran, permintaan cincau melonjak drastis setiap bulan puasa. Jika hari biasa Djoek Fa hanya memproduksi 40 kaleng, saat Ramadan jumlahnya bisa meningkat hingga 400 kaleng per hari.
Satu kaleng cincau dijual dengan harga Rp25 ribu. Rasanya yang segar, teksturnya yang kenyal, dan warna hitam pekat membuat cincau ini sangat digemari, terutama saat dicampur dengan es santan atau sirup. Uniknya, cincau ini dibuat dari daun Mesona chinensis yang didatangkan langsung dari Pulau Jawa. Sekali beli, Djoek Fa bisa membawa hingga satu ton daun cincau sebagai stok produksi.
Meski sudah puluhan tahun menjalankan usaha ini, tantangan terus datang. Beberapa waktu terakhir, ia mengaku cukup terbebani dengan naiknya harga bahan baku. Namun ia memilih bertahan tanpa menaikkan harga jual, demi menjaga kepercayaan pelanggan.
“Daripada naikkan harga, kami akali dengan bikin cincaunya sedikit lebih tipis. Tapi rasanya tetap sama,” jelasnya.
Cincau dan Ekonomi Kreatif di Banda Aceh
Usaha seperti yang dijalankan oleh Djoek Fa sesungguhnya adalah bagian dari ekonomi kreatif yang tumbuh secara alami di Banda Aceh. Tanpa strategi rumit atau teknologi canggih, Djoek Fa membuktikan bahwa kreativitas, ketekunan, dan cita rasa khas bisa menciptakan produk yang bertahan puluhan tahun.
Ekonomi kreatif bukan cuma soal desain, musik, atau teknologi digital. Kuliner lokal seperti cincau ini adalah aset berharga yang merekam sejarah, budaya, dan kearifan lokal dalam satu produk yang nyata dan dinikmati sehari-hari.
Dengan dukungan dari pemerintah dan pelaku ekonomi kreatif, cincau tradisional ini bisa dikembangkan lebih jauh. Misalnya, dengan kemasan yang lebih menarik, promosi lewat media sosial, atau ikut serta dalam festival kuliner lokal. Tak hanya menambah nilai jual, langkah-langkah itu juga bisa memperkenalkan cincau Aceh ke pasar yang lebih luas.
Disisi lain, usaha ini tidak berhenti di Djoek Fa. Anaknya, Suwanto, mulai terlibat aktif dalam proses produksi. Ini menjadi tanda bahwa estafet bisnis keluarga ini akan terus berjalan.
Meski tak muluk-muluk ingin menjadi perusahaan besar, Djoek Fa berharap cincaunya bisa terus hadir di tengah masyarakat Aceh. “Harapannya, masyarakat tetap suka dan minatnya makin banyak. Selama masih bisa, saya tetap buat,” terangnya.[***]