Habanusantara.net, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebut Israel sebagai penjahat perang, merespons serangan Israel terhadap wilayah Gaza yang telah menewaskan ribuan warga Palestina.
Pernyataan tajam Erdogan itu membuat Israel menarik diplomatiknya dari Turki.
Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, mengumumkan penarikan staf diplomatiknya dari Turki melalui akun media sosial. Israel menganggap langkah ini sebagai tindakan evaluasi kembali hubungan diplomatik antara kedua negara.
Menghadapi kritik Erdogan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membalas dengan mempertahankan moralitas tentara Israel.
“Jangan menuduh kami melakukan kejahatan perang. Kami adalah tentara yang paling bermoral di dunia,” sebut Netanyahu.
Ia juga menegaskan bahwa Israel melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi warga sipil dan menuding Hamas sebagai pengguna perisai manusia.
Konflik antara Israel dan Hamas memuncak ketika Hamas melancarkan serangan tak terduga ke Israel pada 7 Oktober, menewaskan ribuan warga, termasuk banyak warga sipil.
Serangan balasan Israel telah mengakibatkan lebih dari 8.000 kematian di Gaza, dengan perempuan dan anak-anak termasuk di antara korban.
Selain perdebatan politik dan diplomatik, berbagai laporan juga menunjukkan penggunaan bom fosfor putih yang dilarang secara internasional dalam serangan Israel di Gaza.
Situasinya semakin memburuk, dan warga Gaza menggambarkan kondisinya sebagai malam krematorium dan holokaus sesungguhnya.
Israel telah memutuskan untuk menarik staf diplomatiknya dari Turki setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan komentar keras terkait operasi militer yang dijalankan oleh Israel di Jalur Gaza.
Keputusan ini memberikan dampak negatif pada upaya kedua negara untuk memulihkan hubungan politik dan ekonomi yang sebelumnya membeku selama satu dekade.
Hubungan antara Israel dan Turki, dua negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan berada di wilayah Timur Tengah, baru saja mengalami pemulihan setelah keduanya setuju untuk mengangkat kembali duta besar mereka pada tahun lalu.
Selain itu, mereka juga sedang mempertimbangkan kerja sama dalam proyek pipa gas alam yang mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat.
Hubungan ini mulai memburuk ketika Presiden Erdogan mengkritik keras operasi militer Israel yang diarahkan kepada kelompok militan Hamas di Jalur Gaza.
Konflik tersebut dimulai ketika Hamas melancarkan serangan tiba-tiba pada tanggal 7 Oktober, menyebabkan kematian lebih dari 1.400 orang, sebagian besar adalah warga sipil, dan lebih dari 220 orang lainnya disandera.
Israel membalas serangan tersebut dengan operasi militer yang telah memakan korban lebih dari 7.700 orang di Jalur Gaza, mayoritas di antaranya adalah warga sipil dan termasuk ribuan anak-anak.
Partai Erdogan, yang memiliki akar dalam politik Islam, mengadakan unjuk rasa masif di Istanbul yang dihadiri oleh sekitar 1,5 juta orang.
Erdogan mengecam Israel sebagai penjajah dan menuduh pemerintah Israel sebagai penjahat perang yang berusaha memusnahkan rakyat Palestina.
Ia juga bertanya tentang keadilan dalam konflik ini, mengatakan bahwa yang terjadi di Gaza adalah pembantaian keji.
Israel merespons dengan menginstruksikan pemulangan seluruh staf diplomatiknya dari Turki setelah pidato Erdogan.
Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, mengatakan bahwa langkah ini diambil mengingat seriusnya pernyataan yang datang dari Turki, dan bahwa ini merupakan langkah untuk mengevaluasi kembali hubungan antara kedua negara.
Presiden Erdogan telah lama mendukung hak-hak Palestina selama dua dekade masa pemerintahannya.
Awalnya, ia merespons serangan Hamas dengan hati-hati, namun semakin vokal ketika korban tewas akibat respons militer Israel terus meningkat.
Ia menyatakan bahwa Israel bertindak atas perintah negara-negara Barat yang ingin menjadikannya sebagai alat untuk mengukuhkan otoritas mereka di Timur Tengah.
Erdogan menuduh sekutu Israel menciptakan “suasana perang Salib” dan mencoba memicu konflik antara umat Kristen dan Muslim di wilayah tersebut.
Meskipun Erdogan mungkin memiliki dukungan luas dalam upaya melindungi hak-hak Palestina, survei yang dilakukan di Turki menunjukkan beragam pendapat di antara warganya.
Banyak yang mendukung netralitas atau upaya mediasi dalam konflik tersebut, dengan mayoritas responden lebih memilih sikap netral atau mediasi daripada dukungan terhadap salah satu pihak dalam konflik tersebut.[]