Habanusantara.net – Kabar yang lama ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui tim pembahas Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) resmi menyepakati perubahan status kawasan hutan lindung di Mukim Lampuuk, Aceh Besar, menjadi Area Penggunaan Lain (APL).
Keputusan ini disambut lega oleh masyarakat yang sejak 2013 hidup dalam bayang-bayang aturan hutan lindung, padahal tanah itu dulunya adalah kebun rakyat yang sudah dikelola turun-temurun.
Bisa dibayangkan, belasan tahun warga Lampuuk harus menggarap kebun dengan rasa was-was. Cengkeh, durian, melinjo, hingga pohon buah lainnya yang mereka rawat dianggap masuk kawasan lindung.
Konsekuensinya, sewaktu-waktu bisa berurusan dengan aparat jika ada yang menuding mereka melakukan pelanggaran. Situasi itu membuat banyak orang Lampuuk merasa terjepit di tanah sendiri.
“Sudah lama masyarakat mengeluhkan status kawasan itu,” kata Abdurrahman Ahmad, anggota Komisi IV DPRA yang juga bagian dari tim pembahas Qanun RTRW.
Ia menegaskan, DPRA mendengar aspirasi warga dan akhirnya mengambil langkah berani: mengusulkan perubahan status hutan lindung Lampuuk menjadi APL.
Pernyataan itu disampaikan usai pertemuan dengan perwakilan masyarakat Mukim Lampuuk di Gedung DPRA, Selasa (2/9/2025).
Nada bicara Abdurrahman terkesan lega sekaligus tegas. “Hari ini kita sudah duduk, sudah mendengar apa yang disampaikan masyarakat. Dan kami sepakat, status hutan lindung itu harus berubah jadi APL,” ucapnya.
Mukim Lampuuk sendiri terdiri dari lima gampong: Meunasah Balee, Meunasah Lambaro, Meunasah Mesjid Lampuuk, Meunasah Blang, dan Meunasah Cut.
Semua desa ini punya sejarah panjang dengan tanah kebun yang jadi penopang ekonomi warga. Namun sejak aturan hutan lindung diberlakukan pada 2013, masyarakat selalu dihantui potensi konflik ketika mengelola kebun. Mereka ingin menanam, tapi takut dikira merambah. Mereka ingin panen, tapi khawatir dicap ilegal.
Makanya, kabar dari DPRA ini benar-benar seperti napas baru. Abdurrahman memastikan, dengan status APL nantinya, masyarakat bisa kembali mengelola kebun mereka secara legal tanpa rasa was-was.
Hanya saja, prosesnya tidak instan. DPRA bersama tim teknis masih harus menyiapkan dokumen lengkap untuk diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Tahap selanjutnya, masyarakat harus menyiapkan dokumen lengkap, termasuk peta, studi, dan sejarah kawasan,” jelas Abdurrahman.
Ia juga mengingatkan, kalau dokumen itu tidak lengkap, proses bisa terhambat. Tapi kalau sudah siap semua, biasanya berjalan lancar. Politikus Gerindra ini optimis, perjuangan warga Lampuuk akan berhasil.
Kenapa optimis? Karena menurutnya, ini bukan sekadar persoalan administratif. Ini menyangkut hajat hidup banyak orang.
Ratusan keluarga menggantungkan hidup dari hasil kebun Lampuuk. Jadi wajar kalau DPR Aceh ikut memperjuangkan agar mereka tidak lagi tersandera status kawasan.
Selain itu, pemerintah daerah juga menyiapkan skema holding zone, semacam zona penahan yang akan jadi titik temu antara kepentingan masyarakat dan kebutuhan menjaga kelestarian lingkungan.
“Nanti tim akan membahas dengan Kementerian, tentu dari pihak DLHK, pihak PUPR, dan pihak dari kita,” lanjut Abdurrahman. Ia menegaskan, akan ada forum diskusi lebih lanjut supaya transisi status kawasan ini tidak mengorbankan lingkungan.
Sementara itu, dari pihak masyarakat, ada optimisme yang sama. Ketua Panitia Pemetaan Wilayah Mukim Lampuuk, Khairuddin, mengaku pihaknya sudah menyiapkan dokumen pendukung.
Ia menjelaskan bahwa sekitar 80 persen pemilik tanah di Lampuuk sudah masuk dalam data yang mereka kumpulkan. Termasuk surat tanah, catatan pohon tua, hingga sumur yang membuktikan kalau lahan itu memang sudah digarap jauh sebelum ditetapkan sebagai hutan lindung.
“Kami sudah kumpulkan banyak bukti. Data pendukung lain juga ada. Jadi bukan sekadar klaim kosong,” kata Khairuddin.
Harapannya, dengan dokumen itu, DPRA dan dinas terkait bisa segera memproses. Ia menambahkan, hal ini bukan hanya untuk kepentingan Lampuuk, tapi juga bagian dari kebutuhan RTRW Aceh yang harus segera selaras dengan kebijakan nasional.
Bagi warga, status APL berarti kebebasan. Mereka bisa berkebun tanpa cemas. Bisa merawat pohon durian yang sudah puluhan tahun berdiri tanpa takut ditebang paksa.
Bisa menanam cengkeh dan melinjo dengan rasa aman, sambil tetap menjaga keseimbangan alam. Karena faktanya, masyarakat Lampuuk tidak pernah punya niat merusak hutan. Mereka hanya ingin hak atas tanah leluhur yang sudah lama digarap kembali diakui.
Jika Lampuuk berubah jadi APL, ekonomi warga juga diprediksi akan lebih stabil. Petani bisa lebih bersemangat mengembangkan kebun karena statusnya jelas.
Tidak ada lagi rasa “abu-abu” yang selama ini membebani. Anak muda di gampong pun bisa ikut menggarap tanah keluarga tanpa harus takut suatu hari kena masalah hukum.
Meski begitu, proses pengalihan status hutan ini bukan tanpa tantangan. Setiap kali ada pelepasan hutan lindung, isu lingkungan pasti mencuat. Para pegiat lingkungan biasanya khawatir, jika status berubah, maka ada risiko perambahan besar-besaran.
Tapi di kasus Lampuuk, masyarakat sudah menegaskan bahwa lahan ini sejak dulu adalah kebun rakyat. Jadi bukan hutan yang masih perawan atau untouched.
Di titik inilah holding zone dan mekanisme pengawasan jadi penting. Agar setelah status berubah, kawasan tetap terjaga dari eksploitasi berlebihan.
Abdurrahman menyebut, tim teknis DPRA bersama dinas terkait akan duduk bersama untuk memastikan keseimbangan itu. Intinya, hak masyarakat diakui, tapi kelestarian juga tidak ditinggalkan.
Bagi warga Lampuuk, ini seperti kemenangan moral. Mereka sudah lama bersuara, mengirim surat, menggelar musyawarah, bahkan menghadap ke dinas-dinas terkait.
Dan akhirnya, suara itu sampai juga ke meja DPRA. Khairuddin menyebut, perjuangan ini bukan hal mudah. Banyak warga pesimis karena merasa berhadapan dengan aturan negara yang kaku. Tapi sekarang mereka bisa melihat cahaya terang di ujung jalan.
“Harapan kami, Lampuuk segera kembali menjadi putih semula atau APL, bukan lagi hutan lindung,” kata Khairuddin penuh semangat.
Pernyataan itu menutup pertemuan di DPRA dengan senyum lega dari warga yang hadir.
Keputusan ini belum final, masih menunggu persetujuan KLHK. Namun, langkah DPR Aceh sudah membuka jalan besar. Bagi masyarakat Lampuuk, ini bukan hanya tentang status kawasan, tapi tentang keadilan yang sudah lama mereka nantikan. Tentang hak hidup di tanah sendiri. Tentang generasi muda yang bisa tumbuh tanpa dihantui status ilegal di kebun leluhur mereka.
Dan jika semuanya berjalan lancar, Lampuuk bisa jadi contoh bagaimana kebijakan ruang dan lingkungan harusnya berpihak pada rakyat kecil, tanpa menutup mata pada kelestarian alam. Kombinasi yang adil, antara manusia dan hutan, antara aturan negara dan hak masyarakat. Pada akhirnya, kabar hari ini memang pantas disebut, warga Lampuuk bisa bernapas lega.[***]