Habanusantara.net | Harapan ribuan jamaah haji Indonesia untuk menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci pada tahun 2024 lalu pupus seketika.
Setelah menanti antrean panjang hingga belasan bahkan puluhan tahun, sebanyak 8.400 jamaah haji gagal berangkat akibat praktik korupsi kuota haji yang kini tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan ribuan jamaah tersebut sebenarnya berhak mendapatkan porsi keberangkatan dari kuota tambahan yang diberikan Arab Saudi pada musim haji 2024. Namun, mekanisme distribusi kuota justru diselewengkan.
“Seharusnya hanya sekitar 1.600 jamaah mendapat kuota khusus. Namun faktanya, 8.400 kuota reguler justru dialihkan menjadi kuota khusus,” ungkap Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, pada Senin (25/8/2025).
Menurut Asep, praktik curang itu membuat jamaah haji reguler yang sudah menunggu antrean lebih dari 14 tahun harus kembali bersabar. Padahal, mayoritas jamaah reguler berasal dari kalangan masyarakat dengan biaya haji yang lebih terjangkau.
“Artinya ada 8.400 orang jamaah haji yang sudah mengantre lama, tetapi akhirnya tidak berangkat karena tindak pidana korupsi ini. Ini sungguh ironis,” tegas Asep, seperti dilansir iNews.id.
KPK mengungkapkan, permasalahan ini berawal dari pembagian 20.000 kuota haji tambahan yang diterima Indonesia pada tahun 2024.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, tambahan kuota semestinya dibagi 92 persen untuk jamaah reguler dan 8 persen untuk jamaah khusus.
Namun, aturan tersebut justru dilanggar oleh pejabat di Kementerian Agama dengan membagi rata 10.000 kuota untuk reguler dan 10.000 kuota khusus.
“Padahal jamaah reguler adalah mayoritas, saudara-saudara kita yang mendaftar dengan biaya lebih terjangkau. Sementara kuota khusus jumlahnya kecil dan biayanya jauh lebih mahal. Jadi jelas, pembagian 50:50 itu melawan aturan,” jelas Asep.
KPK menegaskan, penyelidikan kasus ini sebagai bentuk keberpihakan terhadap jamaah yang menjadi korban kecurangan pejabat yang korup.
Asep juga menekankan bahwa penyelenggaraan ibadah haji adalah pelayanan publik yang bersifat sakral, bukan ruang untuk mencari keuntungan.
“Penyelenggaraan haji itu pelayanan publik yang sakral, bukan ladang bisnis. Kami berharap praktik-praktik seperti ini tidak lagi terjadi,” tutupnya.
Ribuan jamaah kini harus menunda lagi impian suci mereka, sementara publik menanti komitmen KPK dalam menuntaskan kasus korupsi yang menyentuh salah satu aspek paling sensitif bagi umat Muslim.




















