HeadlineNasional

Kisruh Tambang Nikel Raja Ampat: Siapa yang Salah? Ini Kata Pengamat

×

Kisruh Tambang Nikel Raja Ampat: Siapa yang Salah? Ini Kata Pengamat

Sebarkan artikel ini
Kisruh Tambang Nikel Raja Ampat: Siapa yang Salah? Ini Kata Pengamat

Habanusantara.net– Kehebohan mengenai aktivitas tambang nikel di kawasan konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya, semakin memanas setelah temuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dugaan pelanggaran tata kelola wilayah.

Azhari Cage Sindir Boby Gubernur Sumut: Hanya Orang Gila yang Mau Kelola Pulau Aceh Bersama

Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkesan menutup mulut, perbedaan sikap antar-kementerian ini justru menambah keruh persoalan yang membahayakan salah satu destinasi wisata kelas dunia tersebut.

Pengamat politik dan kebijakan publik, Adi Prayitno, menilai seharusnya KLHK membeberkan hasil investigasinya secara terbuka kepada publik agar masyarakat memahami betapa serius kerusakan yang terjadi.

“Ketika KLHK menyebut ada pelanggaran serius terkait tata kelola pulau kecil dan penambangan nikel di Raja Ampat, itu harus diekspos tuntas. Supaya publik tahu seberapa parah kerusakan yang dimaksud,” ujar Adi dalam kanal YouTube pribadinya, Senin (9/6).

Menurut Adi, tarik-menarik informasi antara KLHK dan ESDM berpotensi menyesatkan masyarakat. “Jangan sampai ada kesan ‘aduh, sebenarnya siapa yang benar?’ Padahal seharusnya lembaga negara bisa duduk bersama dan menghadirkan data lengkap,” tambahnya.

Dugaan pelanggaran bermula dari izin eksplorasi dan produksi nikel yang dikeluarkan ESDM, tetapi dianggap KLHK menyalahi aturan zonasi kawasan konservasi. Lokasi tambang berada dekat kawasan terumbu karang yang menjadi rumah bagi ratusan spesies laut langka, sehingga potensi kerusakan ekosistem sangat tinggi.

Sejarah mencatat, Raja Ampat ditetapkan sebagai wilayah konservasi laut sejak 2007, lalu diperkuat Peraturan Pemerintah No. 60/2007 tentang Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Sejumlah pulau kecil—seperti Waigeo dan Misool—dikenal sejak lama oleh masyarakat adat Papua sebagai sumber kehidupan nelayan tradisional.

Kehadiran tambang nikel modern dianggap banyak pihak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan yang diamanatkan undang-undang.

Adi Prayitno mengimbau pemerintah dan perusahaan tambang untuk tidak terburu-buru menyalahkan satu pihak saja. “Kita tidak boleh gegabah menuding siapa pun sebelum data lengkap keluar. Perusahaan tambang, pemerintah pusat, hingga pemerintah daerah harus bertanggung jawab,” katanya.

Lebih jauh, Adi menekankan pentingnya transparansi perizinan dan monitoring lapangan. Ia juga menyerukan pembentukan tim independen yang beranggotakan akademisi, LSM lingkungan, dan perwakilan masyarakat adat Papua. “Baru dengan begitu kebenaran bisa terungkap menyeluruh, dan solusi yang diambil tak hanya menguntungkan sebagian, tapi melindungi masa depan ekosistem Raja Ampat.”

Sampai hari ini, baik KLHK maupun ESDM belum memberikan keterangan resmi tambahan. Publik menanti hasil audit lengkap dan rekomendasi langkah penegakan hukum. Jika terbukti ada pelanggaran, dampaknya bukan hanya pada lingkungan, tetapi juga reputasi Indonesia di mata dunia sebagai negara kepulauan yang mengedepankan prinsip konservasi.[]

Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close