Headline

Azhari Cage Sindir Boby Gubernur Sumut: Hanya Orang Gila yang Mau Kelola Pulau Aceh Bersama

×

Azhari Cage Sindir Boby Gubernur Sumut: Hanya Orang Gila yang Mau Kelola Pulau Aceh Bersama

Sebarkan artikel ini
Senator DPD RI asal Aceh, Azhari Cage

Habanusantara.net – Pernyataan kontroversial datang dari Senator DPD RI asal Aceh, Azhari Cage SIP, yang menolak mentah-mentah wacana pengelolaan bersama empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Sindiran tajam dilontarkannya kepada Gubernur Sumut Bobby Nasution yang sebelumnya menyarankan pengelolaan bersama untuk empat pulau yang saat ini menjadi polemik administratif.

“Hanya orang gila yang mau kelola bersama,” ujar Azhari kepada wartawan, Minggu (8/6/2025). Ucapan ini muncul sebagai bentuk penegasan bahwa keempat pulau tersebut – Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil – merupakan wilayah sah milik Aceh berdasarkan dokumen historis dan hukum yang kuat.

Menurut Azhari, langkah Menteri Dalam Negeri yang menetapkan keempat pulau itu masuk ke dalam wilayah Sumut adalah bentuk tindakan sepihak yang tak berdasar. Ia menekankan pentingnya sikap tegas dari Pemerintah Aceh untuk menolak tawaran kompromi, apalagi yang bersifat “kelola bersama”.

“Jelas-jelas milik Aceh kok kelola bersama? Hanya orang gila saja yang mau kelola punya kita dengan orang lain,” tegasnya lagi dengan nada kecewa.

Lebih lanjut, Azhari mengungkapkan bahwa bukti administratif sudah ada sejak lama. Salah satu dokumen penting yang ia pegang adalah surat tanah bertanggal 17 Juni 1965, yang dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh atas nama Teuku Daud bin T. Radja, warga Aceh Selatan – wilayah yang saat itu masih mencakup Singkil. Bukti ini mempertegas bahwa penguasaan atas pulau-pulau itu telah berlangsung sebelum pemekaran administratif terjadi.

Tak hanya itu, Azhari juga merujuk pada dua kesepakatan penting antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat I Aceh. Pertama, kesepakatan tanggal 10 September 1988. Kedua, kesepakatan tertanggal 22 April 1992 yang ditandatangani oleh Gubernur Sumut saat itu, Raja Inal Siregar, dan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan. Kesepakatan tersebut turut disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri, Rudini.

“Kesepakatan itu bersifat mengikat dan menegaskan bahwa wilayah tersebut memang menjadi bagian dari Aceh. Jadi ini bukan sekadar klaim sepihak, tapi berbasis dokumen sah dan kesepahaman antar pemerintah provinsi,” terang Azhari.

Ia juga mendesak agar Pemerintah Aceh mengambil langkah hukum terhadap keputusan Mendagri yang telah mengeluarkan Surat Keputusan pengalihan wilayah itu. Menurutnya, sikap diam dari Pemerintah Aceh hanya akan memperburuk keadaan dan membuka celah bagi wilayah lain untuk mengklaim tanah Aceh di masa depan.

“Kita tidak boleh diam terhadap kesewenangan ini. Masak pulau milik kita malah diajak kelola bersama oleh orang lain? Pulau itu bukan hanya tanah, tapi menyangkut marwah dan harga diri Aceh,” kata Azhari.

Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Aceh itu juga mengajak seluruh elemen masyarakat, baik tokoh adat, ulama, mahasiswa, hingga aktivis, untuk bersatu mempertahankan kedaulatan wilayah tersebut. Ia menyebut konflik ini bukan hanya soal peta administratif, tetapi soal harga diri dan warisan sejarah Aceh.

“Jangan pernah anggap enteng soal wilayah. Hari ini kita kompromi, besok kita kehilangan semuanya. Ini saatnya bersatu,” tutup Azhari Cage tegas.[]

Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close