Headline

Kontradiksi Terbesar Dalam Konsep Kebebasan/Mengapa Lebih Banyak Pilihan Justru Mengurangi Kepuasan

×

Kontradiksi Terbesar Dalam Konsep Kebebasan/Mengapa Lebih Banyak Pilihan Justru Mengurangi Kepuasan

Sebarkan artikel ini

Habanusantara.net, Di dalam buku berjudul “The Secretary Problem”, yang membahas tentang ilmu science, diceritakan sebuah skenario seperti ini: Bayangkan kamu sedang mencari seorang sekretaris.

Ada sejumlah kandidat yang harus kamu wawancarai satu per satu secara acak. Setelah setiap wawancara, kamu harus langsung memutuskan apakah akan menerima kandidat tersebut atau tidak. Jika kamu menolak seorang kandidat, maka kamu akan melanjutkan ke kandidat berikutnya tanpa bisa kembali ke kandidat yang sudah ditolak. Tujuanmu adalah menemukan kandidat terbaik untuk posisi sekretaris tersebut.

Cara untuk menyelesaikan masalah ini, menurut buku tersebut, adalah sebagai berikut:

Pertama, kamu mewawancarai sebagian kandidat tanpa mempekerjakan satu pun dari mereka. Ini merupakan fase pengamatan di mana kamu hanya mengumpulkan informasi mengenai kualitas para kandidat.

Setelah fase pengamatan selesai, kamu mulai mempertimbangkan kandidat yang tersisa dan memutuskan untuk mempekerjakan kandidat pertama yang memiliki kualitas lebih baik daripada semua kandidat yang sudah kamu wawancarai sebelumnya.

Informasi atau data dari beberapa kandidat yang sudah diwawancarai ini kemudian digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai apakah kandidat berikutnya lebih unggul dibandingkan kandidat-kandidat sebelumnya.

Apa hubungannya dengan kontradiksi dan kebebasan?

Dalam cerita tersebut, kita diberi kebebasan untuk memilih kandidat berikutnya jika tidak puas dengan kandidat saat ini. Namun, kebebasan ini justru menciptakan kebingungan. Mengapa demikian? Karena semakin banyak pilihan yang tersedia, semakin bebas kita memilih, malah semakin besar keraguan yang kita hadapi. Inilah yang disebut dengan “paradox of choice,” yaitu fenomena di mana banyaknya pilihan dan kebebasan yang kita miliki justru memperumit pengambilan keputusan kita.

Saat kita terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan baru, kita mungkin merasa bahwa selalu ada kandidat yang lebih baik yang belum kita temui. Perasaan ini bisa mendorong kita untuk terus menunda keputusan, dengan harapan akan muncul kandidat yang sempurna.

Akibatnya, kita bisa kehilangan kesempatan untuk memilih kandidat terbaik yang sebenarnya sudah kita temui.

Fenomena paradox of choice ini juga terlihat dalam penelitian mengenai keputusan dokter dan pasiennya.

Misalnya, seorang dokter yang menangani pasien dengan masalah sakit pinggul sudah mencoba berbagai obat untuk mengatasi rasa sakit, namun tidak ada yang efektif.

Dokter mempertimbangkan opsi operasi, meskipun prosedur ini panjang dan hasilnya pun belum tentu efektif.

Namun, saat dokter diberi informasi tentang obat baru yang belum pernah dicoba pasien, ia dihadapkan pada dilema baru: apakah akan melakukan operasi atau mencoba obat baru tersebut? Situasi ini menggambarkan bagaimana pilihan tambahan bisa memperumit keputusan dan memperburuk kebingungan, padahal, semakin cepat dokter membuat keputusan yang tepat, semakin besar peluang pasien mendapatkan perawatan yang terbaik.

Penelitian ini dilakukan oleh seorang psikolog dan melibatkan sekelompok dokter. Apa yang ditemukan?

Pada tahap awal, para dokter diberikan dua pilihan: melakukan operasi atau mencoba satu obat baru yang belum pernah dicoba sebelumnya. Hasilnya, 47% dari dokter tersebut memilih mencoba obat baru, berharap dapat menghindarkan pasien dari operasi.

Kemudian, situasinya dipersulit dengan tambahan pilihan. Para dokter kini dihadapkan pada tiga opsi: operasi atau mencoba salah satu dari dua obat baru yang belum pernah digunakan.

Secara logis, dengan dua alternatif non-bedah, para dokter seharusnya lebih cenderung menghindari operasi karena lebih banyak pilihan obat yang bisa dicoba.

Namun, hasilnya justru mengejutkan. Hanya 28% dokter yang memilih salah satu dari dua obat tersebut, sementara mayoritas memutuskan untuk melakukan operasi.

Keputusan ini berlawanan dengan preferensi awal mereka yang cenderung menghindari operasi. Temuan ini menunjukkan bahwa ketika dihadapkan dengan lebih banyak pilihan, bahkan jika pilihan tersebut adalah alternatif yang baik, para dokter justru mengalami kebingungan dan kecenderungan untuk kembali pada pilihan yang lebih “pasti” meskipun tidak ideal.

Jadi, memiliki lebih banyak pilihan justru bisa menimbulkan kebingungan.

Paradox kebebasan ini menunjukkan bahwa semakin banyak opsi yang kita miliki, semakin sulit untuk mengambil keputusan yang benar-benar memuaskan.

Kebebasan yang seharusnya memberi kita kontrol dan peluang lebih besar malah bisa membuat kita kewalahan dan akhirnya mengambil keputusan yang kurang optimal.

Contoh umum dari hal ini adalah ketika seseorang menjawab, “terserah.” Saat kamu mengajak pasangan makan dan dia mengatakan “terserah,” yang pada dasarnya memberi kebebasan untuk memilih, justru sering kali hal itu membuat kamu bingung menentukan pilihan.

Hal ini terjadi karena kebebasan tanpa batasan atau arahan malah bisa membuat kita bingung dan ragu dalam membuat keputusan.

Ketika pasanganmu berkata “terserah,” kamu diberi kebebasan, tetapi tanpa panduan yang jelas, kamu justru dihadapkan pada banyak pilihan, yang dapat membuatmu merasa bingung dan tidak tahu harus memilih dari mana. Itulah mengapa kata “terserah” sering kali memiliki konotasi negatif.[]

Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close