Habanusantara.net, – Ketua Liga Rakyat Bangkit, Tarmidinsyah Abubakar, mengungkapkan keprihatinannya terhadap pernyataan yang baru-baru ini dilontarkan oleh beberapa tokoh Aceh yang terkait dengan Rumoh Gedong. Pernyataan ini telah menjadi sorotan dalam beberapa media belakangan ini.
Dalam rilis yang diterima oleh redaksi ini, Tarmidinsyah mengatakan bahwa pernyataan tersebut terkesan memanfaatkan emosi rakyat dan menganggap remeh kecerdasan mereka dalam konteks politik. Hal ini terkait dengan langkah-langkah strategis yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam menyelesaikan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh.
Beberapa tokoh Aceh yang mengeluarkan pernyataan tersebut antara lain Nasir Jamil, Anggota DPR RI, dan Muhammad Nazar, Mantan Wakil Gubernur Aceh. Pernyataan mereka telah menjadi perbincangan di beberapa media dalam beberapa hari terakhir.
Tarmidinsyah berpendapat bahwa kita sebagai bagian dari masyarakat Aceh seharusnya melihat kebijakan pemerintah pusat dalam penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh secara positif dan tidak hanya dalam konteks politik kekuasaan semata. Kita harus melihatnya dalam konteks kepentingan negara secara keseluruhan. Masalah ini melibatkan seluruh kepentingan bangsa Indonesia yang tidak dapat dianggap remeh oleh siapapun pemimpinnya.
Tarmidinsyah menambahkan bahwa kita dapat melihat hal ini dari sejarah pemerintahan di Indonesia sebelumnya, di mana pemimpin yang berhasil memenangkan kekuasaan pemerintahan umumnya juga mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat Aceh.
Terlebih lagi, gubernur yang terpilih langsung oleh rakyat Aceh dalam beberapa periode seharusnya menjadikan penyelesaian masalah HAM yang sering terjadi di Aceh sebagai salah satu program utama mereka dalam mengkonsolidasi masyarakat Aceh.
Namun, yang terlihat sejauh ini adalah pemerintahan Aceh terlibat dalam isu-isu politik yang hanya membuat rakyat Aceh terkesan tenggelam dalam permainan kekuasaan politik dan meningkatkan status sosial, yang pada akhirnya berakhir dengan kekecewaan rakyat yang tidak bisa diungkapkan.
Oleh karena itu, tidak bijaksana jika politisi Aceh terlibat dalam politik yang memanfaatkan emosi rakyat untuk mencari popularitas dalam konteks politik nasional dan mengecilkan isu HAM menjadi sekadar alat untuk memancing emosi rakyat dalam upaya memenangkan pemilihan gubernur.
Misi dan visi presiden dalam hal ini tentu mengutamakan kepentingan negara. Kita dapat melihat banyak situs sejarah di negara lain yang dikunjungi oleh masyarakat global. Oleh karena itu, selama kebijakan tersebut berfokus pada pengembangan kehidupan masyarakat, kita perlu memberikan apresiasi positif dan dukungan maksimal. Kita tidak boleh saling merusak kepercayaan dari semua pihak.
Mengapa? Tentu saja, menuduh niat politik pemerintah pusat dengan kata-kata negatif dan semata-mata memamerkan kecerdasan kita yang egois tidak akan membawa kebaikan bagi rakyat Aceh atau mendapatkan simpati dari mereka.
Jika kita ingin jujur dan benar-benar berbuat untuk Aceh dengan posisi yang cukup tinggi yang diberikan oleh rakyat, seperti di DPR RI dan Wakil Gubernur Aceh, mengapa mereka tidak membahas masalah ini yang telah terbengkalai begitu lama?
Aspirasi DPR RI dan kebijakan pemerintah Aceh dapat mendorong inisiatif untuk membangun situs sejarah di Aceh, yang pada akhirnya dapat memaksa pemerintah pusat untuk melanjutkan langkah-langkah pembangunan selanjutnya secara nasional.
Seharusnya para pejabat Aceh yang dipercayakan oleh rakyat Aceh-lah yang berada di garis depan dalam melakukannya. Namun, yang terlihat selama ini adalah kita hanya mengandalkan protes baik di pusat maupun di daerah. Padahal, fungsi dan peran itu sebenarnya ada pada mereka, namun tetap saja mereka melakukan aksi pamer dan mencari perhatian yang tujuannya hanya untuk mengecoh rakyat.
Saya berpendapat bahwa jika hal seperti ini terus berlanjut, politik Aceh tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.
Ketika presiden melakukan langkah-langkah, berbagai argumen negatif yang secara tidak langsung mengatasnamakan rakyat Aceh muncul dari para tokoh Aceh itu sendiri.
Kita tidak melihat adanya kontribusi positif dari para pejabat Aceh sendiri dalam upaya secara bertahap membangun rakyat Aceh dalam penyelesaian berbagai masalah yang ada.
Sebagai tokoh Aceh, kita harus menyadari bahwa kita mungkin merasa lebih cerdas dan lebih paham tentang Aceh, tetapi dalam memahami konsep pembangunan masyarakat, hal itu tidak dapat dilakukan secara komprehensif dengan instan.
Kita harus berhenti mengabaikan hukum politik dan selalu mengutamakan hukum perang. Politik seharusnya menjadi wadah untuk menawarkan ide dan gagasan, bukan menghadirkan permusuhan dan perang yang didasarkan pada emosi rakyat terhadap politik negara.
Saya berharap rakyat Aceh tidak lagi dieksploitasi oleh kepentingan politik yang hanya berfokus pada egoisme pribadi dan kelompok politik, terutama oleh para pejabat dan mantan pejabat Aceh sendiri yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat Aceh. Jika hal seperti ini terus berlanjut, maka kemunduran sosial bagi rakyat Aceh akan terus berlangsung.