Habanusantara.net – Di tengah derasnya arus digitalisasi dan maraknya profesi baru di dunia maya, ada sosok muda dari Banda Aceh yang memilih jalan unik. Ia memadukan budaya Aceh dengan sentuhan Jepang dalam karya digitalnya. Niva Adillah, seorang konten kreator muda yang aktif mengembangkan potensi ekonomi kreatif melalui media sosial.
Bagi Niva, dunia digital bukan sekadar hiburan, tapi ladang berkarya yang luas dan penuh peluang. “Sekarang semuanya sudah dekat sekali dengan digitalisasi. Kalau kita punya karya, ide, atau bisnis, semua itu harus dikemas dalam bentuk digital,” katanya, Jumat (10/10/2025).
Menurutnya, ekonomi kreatif tidak bisa lepas dari teknologi dan media sosial. Dari sinilah perjalanannya sebagai konten kreator dimulai. Awalnya, Niva hanya membuat video ringan di YouTube. Namun seiring waktu, ia menyadari potensi besar dunia konten sebagai ruang untuk berekspresi sekaligus menambah penghasilan.
“Awalnya cuma iseng buat konten di YouTube. Tapi kemudian aku sadar, kalau serius, ternyata manfaatnya besar sekali. Dari situ aku mulai fokus bikin konten yang sesuai dengan personal branding aku sendiri,” katanya.
Perjalanan Niva di dunia kreatif dimulai pada 2018, saat ia mengikuti program pertukaran pelajar ke Jepang. Di negeri Sakura itu, ia menampilkan keseharian siswa SMA Jepang dalam kontennya. Tak disangka, konten tersebut menarik banyak perhatian netizen.
“Dari situ aku mulai membangun citra diri yang dekat dengan budaya Jepang, tapi tetap membawa nilai-nilai lokal Aceh. Jadi walau aku tampil dengan nuansa Jepang, isinya tetap tentang Aceh,” ungkapnya.
Setelah pulang ke Tanah Air, Niva melanjutkan langkahnya di dunia konten dengan membuat seri vlog bertajuk “Sanpo Shimasho” yang berarti “Ayo Jalan-Jalan” dalam bahasa Jepang. Melalui seri ini, ia mempromosikan wisata, budaya, dan kuliner Aceh dengan gaya penyampaian yang ringan dan segar.
“Konten itu isinya tentang tempat-tempat wisata di Aceh, budaya, kuliner, dan hal-hal menarik lainnya. Tapi aku kombinasikan dengan ungkapan bahasa Jepang. Jadi yang nonton bukan cuma orang Aceh, tapi juga teman-teman aku dari Jepang,” jelas Niva.
Kini, seri Sanpo Shimasho telah memiliki lebih dari 100 episode, dan menjadi salah satu konten lokal Aceh yang paling konsisten mengangkat kearifan daerah dalam format digital modern.
Namun di balik konten yang tampak spontan dan mengalir, ada kerja keras dan perencanaan matang. Niva mengaku ide-ide kreatifnya bisa datang kapan saja — bahkan di saat santai sekalipun. “Kadang inspirasi datang tiba-tiba. Aku langsung catat idenya, biar nggak lupa. Dari situ aku kembangkan lagi jadi konten yang sesuai dengan branding aku,” katanya.
Baginya, dunia konten kreatif tidak cukup hanya mengikuti tren. Kreator juga harus bisa menjaga keunikan dan konsistensi diri. “Aku biasanya bagi dua jenis konten. Pertama, konten yang aku buat sesuai dengan ide pribadi aku, dan kedua, konten yang menyesuaikan dengan tren atau hal yang sedang viral. Tapi semuanya tetap aku sesuaikan dengan karakter aku sendiri,” ujarnya.
Niva juga menilai, personal branding adalah kunci penting bagi siapa pun yang ingin bertahan di dunia digital. Ia menyebut bahwa proses membangun citra diri di media sosial bukanlah hal instan. “Aku mulai aktif dari 2018, tapi baru benar-benar dikenal itu waktu aku ikut Agam Inong Banda Aceh dan Emeron Hijab Hunt di Jakarta pada 2022 dan 2023. Dari situ orang mulai tahu aku sebagai konten kreator yang punya gaya sendiri,” tuturnya.
Kini, dengan semakin banyak pengikut di Instagram dan YouTube, Niva tak hanya dikenal sebagai konten kreator, tapi juga sebagai duta wisata di Banda Aceh yang membawa misi budaya ke dunia digital.
“Saat ini aku ingin terus mengangkat nilai lokal Aceh ke dunia internasional. Aku ingin teman-teman di luar sana tahu bahwa Aceh itu punya banyak hal menarik bukan cuma wisata, tapi juga budaya, bahasa, dan cara hidup yang unik,” ucapnya penuh semangat.
Dalam perjalanannya, ia mengungkapkan bahwa tantangan terbesar bagi para kreator muda saat ini bukan hanya soal membuat konten, melainkan bagaimana mempertahankan eksistensi di tengah naik turunnya motivasi dan dinamika algoritma media sosial.
“Tantangan terbesar itu membangun eksistensi. Karena rata-rata, banyak yang udah mulai tapi di tengah jalan berhenti. Kadang faktor eksternal seperti views, likes, komentar, dan interaksi bikin mental down. Udah buat banyak konten, tapi hasilnya gitu-gitu aja. Stagnan,” ujarnya.
Menurut Niva, sebagian besar kreator pemula terjebak dalam tekanan angka misalnya berapa banyak likes yang didapat, berapa ribu views yang diraih, atau seberapa besar engagement dari followers. Padahal, menurutnya, ukuran kesuksesan sejati seorang kreator tidak bisa diukur dari itu semua.
“Aku merasa sekarang ini followers, views, likes, dan komentar itu bukan hal yang mendefinisikan kita. Itu penting, iya. Tapi bukan inti dari semuanya. Yang paling penting itu konten kita apa adanya, original, dan punya nilai yang membedakan kita dari kreator lain,” tambahnya.
Niva percaya bahwa personal branding menjadi pondasi utama dalam menciptakan daya tahan (resistensi) seorang konten kreator di dunia digital yang begitu cepat berubah. Dengan personal branding yang kuat, seorang kreator bisa tetap berdiri tegak di tengah fluktuasi algoritma maupun persaingan yang semakin ketat.
“Aku bersyukur walaupun followers belum banyak, tapi udah punya pasar sendiri. Kontenku punya penonton yang memang relate dan butuh. Itu yang penting. Resistensi itu besar kalau kita tahu nilai dan value diri sendiri,” ujarnya lagi.
Niva juga berpesan kepada anak muda Aceh agar tidak takut untuk mulai berkarya. “Kalau punya ide, langsung aja jalan. Nggak perlu nunggu sempurna dulu. Yang penting konsisten dan punya ciri khas,” katanya.
Kini, Niva terus mengembangkan kontennya agar lebih variatif. Ia bahkan telah membuat chime atau jingle khas dari tagline Jepangnya “Moshi-moshi, mina!” versi dirinya sendiri. “Kalau dulu cuma dubbing, sekarang aku bikin nadanya sendiri biar lebih berkarakter. Jadi kalau orang dengar, mereka langsung tahu itu konten aku,” ujarnya sambil tertawa.
Melalui perjalanan kreatifnya, Niva Adillah membuktikan bahwa ekonomi kreatif bukan sekadar tren, tapi peluang nyata bagi generasi muda Aceh untuk berkarya, berdaya, dan memperkenalkan daerahnya ke panggung global.
“Kalau kita punya skill dan nggak ditunjukkan lewat media sosial, rasanya sayang banget. Karena sekarang, dunia sudah sedekat genggaman,” tutupnya.[***]