Haba Nusantara.net, Langkah simpatik dan penuh empati yang ditunjukkan oleh Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, dalam menertibkan pelanggar syariat Islam mendapat apresiasi dari berbagai kalangan.
Salah satunya dari anggota DPRK Banda Aceh, Royes Ruslan SH, yang menilai pendekatan humanis yang dilakukan sang wali kota adalah bentuk penegakan aturan yang tidak hanya menindak, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan.
Pada razia yang digelar Senin malam lalu, Wali Kota Illiza memimpin langsung tim Satpol PP WH Kota Banda Aceh. Dalam operasi tersebut, sebanyak enam pasangan nonmuhrim berhasil diamankan. Namun yang menjadi sorotan bukan sekadar jumlah pelanggar yang tertangkap, melainkan cara Illiza bersikap setelah mereka diamankan. Ia tidak langsung menghakimi, melainkan menggali lebih jauh apa yang sebenarnya mendorong para pelanggar ini melakukan pelanggaran terhadap syariat Islam. Ia berbicara dari hati ke hati, mencari akar masalahnya.
“Sebagai anggota DPRK Banda Aceh, saya memberikan apresiasi kepada Ibu Wali Kota atas langkah-langkah beliau dalam menertibkan pelanggar syariat Islam di Kota Banda Aceh. Penertiban yang dilakukan penuh nuansa simpatik, humanis, dan berbeda dari biasanya. Ini sangat patut kita beri dukungan,” ujar Royes Ruslan saat dimintai tanggapan.
Menurut Royes, pendekatan seperti ini sudah lama dinanti. Ia menyebut bahwa sebelumnya sudah cukup lama tidak terlihat penertiban yang dilakukan secara langsung dengan cara yang lembut dan menyentuh nurani. Kehadiran Ibu Wali di lapangan, kata dia, memberikan warna baru dalam pelaksanaan syariat Islam di Banda Aceh.
“Ibu Wali turun langsung, dan suasana penertiban berubah menjadi lebih simpatik. Beliau tidak hanya melihat sisi kesalahan, tapi juga berusaha mencari tahu apa yang menjadi latar belakangnya. Ini pembinaan yang datang dari hati, bukan sekadar penindakan,” tambahnya.
Lebih lanjut, Royes menilai bahwa fenomena pelanggaran syariat ini seharusnya menjadi cerminan bahwa masih ada hal-hal yang belum berjalan sesuai harapan dalam pemerintahan maupun di ranah legislatif. Penanganan semata di lapangan tidak cukup, melainkan harus diikuti dengan pembenahan dari hulu.
“Pelanggaran syariat ini adalah indikator bahwa ada sesuatu yang belum maksimal dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab kita, baik sebagai pemerintah maupun sebagai anggota dewan. Ini harus menjadi catatan bersama,” ungkapnya.
Royes juga menyarankan agar ke depan pendekatan humanis ini tidak hanya berhenti pada proses penertiban semata. Ia mendorong adanya layanan konsultasi atau pendampingan sosial bagi generasi muda maupun masyarakat yang mengalami persoalan sosial dan moral. Dengan demikian, akar masalah dapat diketahui lebih dini dan pencegahan bisa dilakukan secara sistematis.
“Kita perlu menyediakan ruang konseling, edukasi, atau bahkan forum-forum diskusi. Jangan sampai generasi muda kita kehilangan arah dan terjerumus ke dalam pelanggaran syariat. Ini bukan hanya soal razia, tapi bagaimana kita mencegah dari hulunya,” ujarnya.
Menurutnya, penegakan syariat Islam di Banda Aceh memang tidak bisa 100 persen sempurna. Namun jika dilakukan dengan pendekatan yang lebih menyentuh, angka pelanggaran bisa ditekan. Royes optimistis bahwa dengan langkah-langkah yang sedang dijalankan, pelanggaran serupa bisa berkurang secara bertahap.
“Kalau pun terjadi lagi pelanggaran-pelanggaran di masa depan, setidaknya kita sudah siap dengan solusi yang telah dirancang. Hal seperti ini memang tidak bisa hilang sepenuhnya, tapi bisa dikurangi secara signifikan,” jelas Royes.
Sikap Illiza yang lebih memilih dialog ketimbang langsung menghukum menunjukkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Banda Aceh bisa berjalan sejalan dengan nilai-nilai kasih sayang dan pembinaan. Warga yang melanggar tidak sekadar dicap bersalah, tetapi juga diajak memahami kesalahannya serta diberi ruang untuk memperbaiki diri.
Pemandangan ini terasa langka dalam konteks penegakan hukum yang selama ini lebih identik dengan tindakan represif. Tetapi Illiza, dengan caranya yang khas sebagai pemimpin perempuan, menampilkan wajah baru dalam pelaksanaan syariat. Ia hadir bukan sebagai penguasa yang menghakimi, melainkan sebagai seorang ibu yang menasihati dengan kelembutan.
Dengan kehadiran langsung Wali Kota di tengah masyarakat, pesan moral yang ingin disampaikan pun menjadi lebih kuat. Bukan sekadar takut pada hukum, tapi lebih kepada kesadaran diri untuk menjaga marwah Kota Serambi Mekkah ini.
Langkah-langkah seperti ini diyakini akan memberi dampak jangka panjang yang positif. Selain menciptakan suasana penegakan syariat yang lebih damai, juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Royes pun berharap, metode seperti ini bisa menjadi acuan ke depan. Menurutnya, Banda Aceh bisa menjadi contoh nasional dalam bagaimana penegakan nilai-nilai Islam dilakukan tanpa meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan.
“Semoga penertiban yang dilakukan oleh Ibu Wali ini bisa menjadi inspirasi bagi daerah lain. Kita tidak hanya menegakkan aturan, tapi juga merawat manusia di dalamnya,” pungkasnya.[***]