Hababusantara.net – Fenomena maraknya kaum lelaki mengenakan celana pendek di Banda Aceh semakin mencerminkan paradoks antara narasi dan realitas syari’at Islam di Serambi Makkah.
Pelaku Usaha Tak Indahkan Syariat Islam, Promosi Celana Pendek Terang-Terangan
Redaksi4 min baca

Sebagai Ibu kota yang menjadi barometer penerapan syari’at Islam di Indonesia, pemandangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah nilai-nilai syari’at mulai tergerus oleh tren?
Fenomena ini mendapatkan perhatian serius dari .Tgk. Rusli Daud, S.H.I., M.Ag., anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh
Menurutnya, fenomena celana pendek yang banyak dipromosikan di ruang publik, termasuk di baliho dan spanduk, merupakan bentuk pengabaian terhadap aturan syari’at Islam yang seharusnya dihormati.
Di baliho yang terpampang itu, Celana pendek dipromosi dengan diskon besar besaran hingga 60 persen.
Ia mengingatkan bahwa regulasi tentang pakaian sesuai syari’at Islam di Aceh masih berlaku dan harus ditegakkan dengan konsisten.
“Regulasi tentang pakaian sesuai syari’at Islam di Aceh masih berlaku dan harus dihormati. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak yang kurang peduli terhadap hal ini,” tegas Tgk. Rusli saat ditemui di Kantor MPU Banda Aceh, Selasa, 25 April 2025.
Dengan tegas, ia menyebutkan bahwa penerapan Islam secara kaffah tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga membutuhkan kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat.
Tgk. Rusli menambahkan bahwa para pelaku usaha, terutama di sektor fashion, memiliki peran penting dalam menjaga keselarasan antara bisnis dan syari’at Islam.
Ia menilai bahwa meskipun ada regulasi yang mengatur soal pakaian, para pelaku usaha di Banda Aceh sering kali lebih mengutamakan keuntungan materi, tanpa mempertimbangkan dampak moral dari produk yang mereka tawarkan.
“Sebagai pebisnis yang beroperasi di tanah syari’at, seharusnya mereka tidak hanya mengejar keuntungan semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek moral dan nilai-nilai Islam,” ujar Rusli.
Fenomena ini semakin diperburuk dengan adanya baliho-baliho besar yang mempromosikan pakaian celana pendek di tempat-tempat strategis di Kota Banda Aceh.
Baliho tersebut menjadi bukti nyata bahwa prinsip-prinsip syari’at dan kearifan lokal seringkali diabaikan demi keuntungan komersial.
“Pemasangan baliho dengan gambar pria bercelana pendek sangat kontras dengan semangat syari’at Islam yang kita junjung. Ini merupakan tantangan besar bagi kita semua untuk menjaga identitas dan kehormatan daerah ini,” tegas Rusli.
Pemerintah kota Banda Aceh dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga telah berulang kali mengingatkan pentingnya berpakaian sesuai dengan syari’at Islam. Meskipun demikian, kesadaran kolektif masyarakat masih menjadi masalah besar yang sulit diatasi.
Hal ini terlihat dari minimnya respons dari masyarakat terhadap regulasi yang ada. Bahkan, beberapa pedagang dan pelaku usaha tampaknya lebih fokus pada keuntungan jangka pendek ketimbang menegakkan nilai-nilai Islam yang menjadi dasar kehidupan mereka.
Menurut Tgk. Rusli, kesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan agar penerapan syari’at Islam dapat terlaksana dengan baik.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Dukungan dari masyarakat, khususnya para pedagang dan pelaku usaha di Banda Aceh, sangat penting agar kita bisa menjaga identitas kota ini sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam,” ujarnya.
Penting untuk diingat bahwa syari’at Islam di Aceh tidak hanya terkait dengan penerapan hukum, tetapi juga dengan bagaimana masyarakat memperlakukan dan menghormati nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satunya adalah kesadaran untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan ajaran Islam, yang menekankan kesopanan dan menjaga aurat.
Bagi masyarakat Banda Aceh, fenomena celana pendek ini bukan hanya sekedar masalah mode, tetapi lebih dari itu, merupakan ujian terhadap komitmen mereka dalam menjaga syari’at Islam. Tgk. Rusli berharap agar masyarakat lebih sadar dan berperan aktif dalam menjaga keberlakuan syari’at Islam di Aceh.
“Semoga Allah SWT memberikan kekuatan kepada kita semua untuk tetap beristiqamah dalam menegakkan syari’at Islam secara kaffah di bumi Iskandar Muda,” pungkasnya.
Ke depan, diharapkan ada upaya lebih serius dari pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha untuk mengembalikan penerapan syari’at Islam yang kaffah di Banda Aceh, kota yang dikenal dengan identitasnya sebagai Serambi Makkah.[*]
Pos Terkait
Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News