Habanusantara.net — Gerimis tipis membasahi pelataran Monumen Samudera Pasai, Jumat (22/8/2025) malam. Udara dingin, tapi suasana hangat. Dentuman rapai pasee mulai terdengar, ritmenya kencang, menghentak, bikin bulu kuduk merinding. Dari situlah, Aceh Perkusi 2025 resmi dibuka.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, berdiri di panggung utama. Dengan suara lantang ia buka festival, “Dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, Aceh Perkusi 2025 saya nyatakan resmi dimulai.” Penonton langsung riuh tepuk tangan.
Buat Mualem, lokasi acara nggak bisa dianggap biasa. Monumen Samudera Pasai adalah simbol kejayaan Islam pertama di Nusantara sejak 1267 Masehi. Ia mengaitkan festival ini dengan sejarah besar Aceh yang dulu pernah berjaya.
“Beliau Sultan Malikussaleh lah yang membawa Islam kaffah ke tanah ini. Kalau tidak, mungkin kita masih menyembah berhala,” ucap Mualem penuh penghormatan.
Bukan cuma nostalgia sejarah, ia juga nyambungin cerita Aceh dengan dunia Melayu. Ada jejak kuat Aceh di Malaysia dan Thailand. Salah satunya, lewat makam ulama besar Aceh, Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani yang ada di Melaka.
Bupati Aceh Utara, Ismail A. Jalil, ikut menekankan kalau Aceh Perkusi bukan sekadar panggung hiburan. Festival ini jadi cara buat menghidupkan lagi memori sejarah, sambil mengembangkan potensi Samudera Pasai sebagai destinasi wisata budaya, sejarah, dan religi.
“Dari lokasi bersejarah ini, kita ingin tunjukkan ke dunia kalau Aceh itu tanah seni berakar Islam, pusat peradaban, sekaligus rumah damai untuk semua,” kata Ismail.
Dukungan juga datang dari pusat. Agus Mulyana, Direktur Sejarah dan Permuseuman Kemendikbud, menyebut festival ini langkah konkret buat majukan budaya Aceh. Menurutnya, Aceh punya khazanah besar yang bisa jadi kekayaan bangsa.
Nggak kalah penting, Masruroh, Staf Ahli Bidang Transformasi Digital dan Inovasi Pariwisata Kemenparekraf, bawa kabar gembira. Aceh Perkusi 2025 resmi masuk dalam daftar 100 event terbaik Indonesia versi Kharisma Event Nusantara (KEN).
“Ini bukti kualitasnya. Aceh Perkusi berdampak positif bukan cuma buat budaya, tapi juga ekonomi, lingkungan, sampai pariwisata. Tradisi perkusi Aceh bahkan punya nilai universal yang bisa tembus level internasional,” ujar Masruroh sebelum menyerahkan piagam penghargaan KEN 2025 kepada Kadisbudpar Aceh, Almuniza Kamal.
Malam pun makin panas. Puluhan penabuh rapai pasee tampil bergantian, menghentak panggung dengan ritme penuh energi. Dari Malaysia, seniman Majelis Kebudayaan Johor juga hadir, nunjukin eratnya persahabatan budaya Aceh dengan negeri jiran.
Penonton pun larut. Lisa, warga Aceh Utara yang datang bareng keluarga, mengaku puas.
“Acara ini keren banget. Banyak hal bisa dipelajari, UMKM terbantu, museum bisa dikunjungi, dan yang paling asik bisa lihat rapai rame-rame kayak gini. Jarang banget ada,” katanya.
Festival ini jalan sampai 24 Agustus. Bukan sekadar musik, tapi juga ruang perjumpaan antara sejarah, seni, dan diplomasi budaya. Samudera Pasai hidup lagi di era sekarang, lewat dentuman rapai yang menyatukan masa lalu dan masa depan Aceh.
Event ini juga dirangkai dengan Pentas Budaya Tradisi Pesisir, pameran keliling Museum Aceh, bioskop keliling Balai Pelestarian Kebudayaan Aceh, plus dukungan penuh pemerintah daerah. Jadi, bukan cuma pesta seni, tapi juga ruang edukasi budaya untuk semua generasi. []