Habanusantara.net – Dari bahan sederhana yang biasa ditemukan di dapur orang Aceh, kini lahir aroma mewah yang siap mencuri perhatian pasar nasional. Janessence Aceh, varian terbaru dari Geutanyoe Perfume, parfum lokal racikan anak muda Aceh, Muhammad Haiqal, yang memanfaatkan buah janeng, umbi khas Aceh sebagai bahan utamanya.
Inovasi ini bukan sekadar tren bisnis baru, tetapi juga cerminan dari semangat ekonomi kreatif yang terus tumbuh di Aceh. Haiqal menyadari bahwa potensi alam daerahnya terlalu berharga untuk dibiarkan tanpa nilai tambah.
“Janeng ini sangat melimpah di Aceh, sayang kalau hanya dijadikan bahan makanan. Dulu, janeng bahkan jadi makanan pokok saat masa perang,” kata Haiqal saat ditemui di Banda Aceh
Jika di bandingkan dengan Ubi, Boh Janeng memiliki ukuran lebih besar dan bertekstur kasar, serta memiliki akar-akar kecil di setiap pori-porinya. Tumbuhan ini lazimnya dapat ditemui di tempat yang lembab cenderung hujan dengan skala besar, seperti di salah satu hutan di kabupaten Aceh Besar, tepatnya di desa Riting, Kecamatan Indrapuri.
Namun, di tangan kreatif Haiqal, janeng bukan lagi sekadar bahan pangan, melainkan bahan dasar parfum dengan karakter aroma yang kuat dan berkelas. “Janeng ini unik. Baunya tajam, tapi memikat. Ada sisi kerasnya, tapi juga santai dan elegan. Menurut saya, itu karakter yang sangat Aceh,” celutuknya.
Di rumah produksinya Gampong Lingke, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh menjadi saksi bisu tangan kreatifnya Haiqal dalam meracik parfum lokal.
Sebelum menghadirkan parfum varian janeng, Geutanyoe Perfume lebih dulu dikenal lewat produksi parfum berbasis nilam Aceh, yang menjadi salah satu komoditas unggulan provinsi ini. Nilam, atau minyak atsiri, sudah lama menjadi bahan dasar utama industri parfum dunia karena aromanya yang khas dan tahan lama.
“Dulu, kita memulai dengan parfum nilam. Karena nilam Aceh sudah terkenal kualitasnya, kita ingin angkat itu ke level yang lebih modern lewat produk parfum lokal,” jelas Haiqal.
Kendati itu, Ia terus berinovasi hingga akhirnya muncul ide untuk memanfaatkan janeng. Inilah yang akhirnya melahirkan Janessence Aceh sebagai varian terbaru dari Geutanyoe Perfume.
Janessence Aceh pun menjadi terobosan penting. Di tengah tren parfum modern yang didominasi aroma floral dan citrus, Haiqal justru menawarkan sesuatu yang berbeda aroma alami dari bahan lokal Aceh yang diproses dengan teknik profesional.
Proses pembuatannya pun tidak singkat. Mereka butuh hampir setahun, sepanjang 2025, untuk menyempurnakan formula ini.
“Mulai dari pencucian, ekstraksi, distilasi, sampai proses peracikan akhir, semuanya dilakukan dengan teliti. Kita libatkan ahli kimia parfum, tapi tetap mengutamakan SDM lokal Aceh,” tutur Haiqal.
Selain inovatif, Geutanyoe Perfume juga dikenal karena tetap mempertahankan harga yang terjangkau tanpa mengorbankan kualitas. “Saya ingin semua orang bisa menikmati parfum khas Aceh ini, bukan hanya kalangan tertentu. Karena itu, harga yang kami tawarkan tetap ramah di kantong,” ujarnya.
Langkah ini terbukti efektif. Sejak pertama kali diluncurkan, permintaan untuk varian Janessence Aceh meningkat tajam. “Orderan langsung meledak. Dalam waktu singkat, 100 piece pertama langsung habis. Bahkan ada pesanan dari luar Aceh,” kata Haiqal dengan bangga.
Antusiasme tersebut menunjukkan bahwa konsumen kini semakin tertarik pada produk lokal yang mengangkat identitas daerah. “Saya percaya, kalau kita bisa mengemas potensi lokal dengan cara kreatif dan profesional, pasar akan menerima. Masyarakat sekarang lebih menghargai produk yang punya cerita dan nilai budaya,” lanjutnya.
Bagi Haiqal, parfum bukan hanya produk gaya hidup, tetapi juga alat promosi budaya. Lewat Janessence Aceh, ia ingin memperkenalkan aroma dan kekayaan alam Aceh kepada dunia. “Saya ingin ketika orang mencium aroma Janessence, mereka tahu ini aroma dari tanah Aceh,” katanya.
Inovasi seperti ini menjadi bagian dari gerakan besar ekonomi kreatif yang kini berkembang pesat di Aceh. Sektor ini telah melahirkan banyak pelaku muda dari berbagai bidang mulai dari kuliner, fashion, desain, hingga konten digital. Geutanyoe Perfume adalah bukti nyata bahwa kreativitas bisa menjadi sumber ekonomi baru bagi daerah.
“Ekonomi kreatif itu bukan cuma soal bisnis, tapi cara berpikir. Kita melihat potensi di sekitar, lalu mengubahnya jadi nilai tambah,” ujar Haiqal. “Janeng dulunya dianggap biasa saja, sekarang bisa jadi identitas baru untuk produk Aceh.”
Haiqal juga menekankan pentingnya kolaborasi antar pelaku ekonomi kreatif. Dalam proses produksi hingga promosi, ia melibatkan banyak pihak lokal untuk dipromosikan.
Bahkan Haiqal kerap mengikuti berbagai bazar dalam berbagai event yang diselenggarakan di Banda Aceh bahkan di seluruh Banda Aceh.
Ia berharap pemerintah dapat memberi dukungan lebih besar, terutama dalam hal pelatihan, promosi, dan pembiayaan.
“Kita ini bersaing di era digital. Jadi pemerintah juga bisa bantu lewat pelatihan digital marketing, desain produk, sampai akses pameran di luar daerah. Kalau difasilitasi dengan baik, anak muda Aceh bisa bersaing di pasar global,” harapnya.
Sejauh ini, Geutanyoe parfume telah memiliki beragam aroma wangian dari nilam yaitu Seulanga, jeumpa, meulu, inong, kopi, dan wangi terbaru dari janeng ini.[***]




















