Headline

Komandan Ibrahim Pertanyakan Urgensi Usulan Penambahan 4 Bataliyon di Aceh

×

Komandan Ibrahim Pertanyakan Urgensi Usulan Penambahan 4 Bataliyon di Aceh

Sebarkan artikel ini
Komandan Ibrahim, seorang mantan Kombatan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini aktif sebagai pemerhati sosial
Komandan Ibrahim, seorang mantan Kombatan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini aktif sebagai pemerhati sosial

Habanusantara.net—Usulan Panglima Kodam Iskandar Muda (IM), Mayor Jenderal Niko Fahrizal, untuk penambahan empat batalyon pasukan militer di Aceh, kini memunculkan beragam reaksi. Salah satunya datang dari Komandan Ibrahim, seorang mantan Kombatan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini aktif sebagai pemerhati sosial.

Ibrahim mempertanyakan urgensi dari rencana tersebut, yang menurutnya, perlu dikaji ulang dengan lebih hati-hati.

“Saya mendengar usulan penambahan pasukan militer itu, dan saya pribadi merasa tidak ada urgensi yang mendesak. Jika penambahan pasukan dimaksudkan untuk kenyamanan dan ketentraman masyarakat Aceh, saya rasa itu tidak perlu. Kita sudah cukup menjaga kedamaian ini, dan kami mampu melakukannya sampai kapan pun,” ungkap Ibrahim dalam keterangan kepada Habanusantara.net 24 Mei 2025.

Menurutnya, jika penambahan pasukan bertujuan untuk memperkuat ketahanan militer dalam menghadapi ancaman dari luar, hal tersebut bisa dipahami. Namun, ia menilai bahwa penambahan jumlah batalyon yang disarankan terlalu banyak dan tidak proporsional.

“Jika tujuannya adalah untuk ketahanan militer menghadapi ancaman dari luar, kenapa harus hanya 4 batalyon? Bahkan 10 batalyon pun, saya rasa tidak masalah. Tapi, kita harus bijak dalam menilai situasi di lapangan,” lanjut Ibrahim.

Ibrahim juga menyarankan agar kebijakan ini dievaluasi dari berbagai perspektif.

Menurutnya, diskursus terkait penambahan batalyon ini sudah banyak dibahas oleh berbagai kalangan masyarakat Aceh.

Beberapa tokoh, seperti Din Minimi—seorang tokoh eks-GAM yang kini dikenal sebagai aktivis sosial—juga turut menyuarakan pendapat terkait kebijakan ini.

Din Minimi, yang sebelumnya dikenal sebagai salah satu pemimpin gerakan kemerdekaan Aceh, baru-baru ini memberikan dukungan terhadap ide ini, meski dengan beberapa catatan penting.

Namun, tidak sedikit pula yang menolak keras usulan penambahan pasukan ini. Beberapa pihak khawatir kebijakan tersebut akan menciptakan ketegangan sosial yang baru, mengingat masih adanya trauma dan ketidakpercayaan terhadap kehadiran militer di Aceh pasca-perjanjian damai Helsinki.

Terlebih lagi, masyarakat Aceh secara umum sangat menghargai status otonomi khusus yang tercantum dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang telah disepakati setelah proses perdamaian.

Masyarakat Aceh, menurut Ibrahim, memiliki hak untuk mempertanyakan keputusan yang berpotensi merubah dinamika sosial dan politik di wilayah ini.

“Kita harus melihat situasi ini dengan hati-hati. Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan justru menambah kegelisahan atau memperburuk hubungan antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ibrahim juga menekankan pentingnya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, serta memperhatikan aspirasi rakyat Aceh dalam mengambil keputusan yang krusial seperti ini. Ia berharap pemerintah dapat memperhitungkan segala aspek, baik dari sisi keamanan, sosial, maupun politik, sebelum melaksanakan kebijakan yang dapat berdampak luas.[R]

Follow Berita Habanusantara.net lainnya di Google News
close