Habanusantara.net, Penertiban galian C oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar telah memicu serangkaian dampak ekonomi yang merembet di seluruh Aceh. Langkah ini, yang berawal dari aksi mogok angkutan pasir, kini mengancam kelangsungan proyek pembangunan fisik di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya.
Pengurus Real Estate Indonesia (REI) Aceh menghadirkan sejumlah permasalahan yang muncul akibat krisis material yang berkepanjangan, khususnya kelangkaan pasir, yang terjadi setelah Pemerintah Kabupaten Aceh Besar mengambil langkah penertiban galian C.
REI mengungkapkan keprihatinan mereka dan menyerukan agar Pemerintah Aceh mencari solusi yang bijak untuk mengatasi situasi ini, sehingga tidak menimbulkan efek negatif yang semakin merambat dan membahayakan.
Ketua REI Aceh, Muhammad Noval, menyoroti dampak kelangkaan pasir terhadap industri konstruksi. Ia mengungkapkan bahwa banyak pekerjaan konstruksi terhenti karena kekurangan pasir.
Sebagai contoh, pembangunan sekitar 2.000 unit rumah yang saat ini sedang dalam proses pengerjaan oleh pengembang anggota REI, kini terancam mengalami stagnasi akibat kelangkaan pasir.
Noval menekankan bahwa masalah ini tidak hanya memengaruhi REI, tetapi juga seluruh aktivitas pembangunan fisik di wilayah tersebut, termasuk proyek-proyek pemerintah. Situasi ini telah menimbulkan dampak yang meluas ke sektor-sektor lain.
“Banyak pekerja yang menganggur. Jika pekerjaan terhenti selama tiga hari, para buruh konstruksi cenderung meninggalkan proyek karena tidak dapat bertahan tanpa pekerjaan,” ungkapnya.
Selain itu, pengusaha angkutan pasir dan batu bata juga merasakan dampak langsung dari kebijakan penertiban galian C.
Selain itu, kelangkaan pasir berdampak pada toko-toko bangunan dan buruh konstruksi. “Banyak pengemudi angkutan pasir yang mengalami kesulitan membayar cicilan kredit karena tidak dapat bekerja setelah penutupan operasional galian C.
Karena mobil mereka tidak beroperasi, pengemudi juga menganggur. Dampaknya meluas ke berbagai sektor,” tambah Noval.
Beberapa pengurus REI yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengungkapkan kekhawatiran mereka bahwa krisis material konstruksi dapat memicu kenaikan harga barang lainnya. Sebagai contoh, jika proyek harus membeli pasir dari daerah lain, risiko kenaikan harga yang signifikan akan menjadi tantangan.
Situasi ini akan mengakibatkan peningkatan biaya lainnya dan akhirnya berpotensi memicu inflasi.
“Dampaknya merambat ke berbagai sektor. Kita menyaksikan efek multiplier yang signifikan,” tegas Noval.
Sebagai pengusaha, Noval menekankan bahwa REI menghormati kebijakan pemerintah Kabupaten Aceh Besar untuk melakukan penertiban galian C.
Kebijakan tersebut, menurutnya, tentu telah melalui evaluasi yang matang dan memiliki tujuan yang baik, termasuk dalam hal pemantauan dampak lingkungan (AMDAL) dan keberlanjutan ekosistem.
Namun, ia menekankan bahwa kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat juga harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan keputusan.
“Kami melihat dari sudut pandang pembangunan dan dampak ekonomi yang dihasilkan oleh kebijakan ini. Kami berharap bahwa penyelesaian yang bijak dapat ditemukan dalam situasi ini,” tegas Noval.
Noval menambahkan bahwa para pengembang baru-baru ini mulai pulih setelah menghadapi tantangan pandemi COVID-19 selama beberapa tahun.
Selain berbisnis, REI juga memiliki misi untuk membantu pemerintah dalam menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat.
Oleh karena itu, mereka meminta agar pemerintah juga mendukung perkembangan usaha mereka dengan menciptakan regulasi dan kebijakan yang mendukung pertumbuhan sektor ini.
“Kami berharap ada solusi yang bijak untuk mengatasi permasalahan ini,” pungkasnya.[SA]