Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian tradisi jawa yang menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian kuda lumping merupakan suatu bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa yang didalam pertunjukannya ada unsur seni dan religi.
Tarian ini berasal dari Ponorogo, ciri khasnya menggunakan kuda yang terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang dianyam dan dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya.
Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka ragam sebagai perlengkapan pertunjukan, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping menyuguhkan atraksi kesurupan yang biasa disebut dengan mabuk monyet, kekebalan dan kekuatan magis, seperti memakan kaca, memakan bunga, membakar diri, dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut.
Kuda lumping pada pementasannya yaitu menggunakan baju adat Jawa Tengah dengan menunggang kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman. Kuda lumping sendiri dimainkan oleh menimimal 8 orang dengan diiringi musik kuda lumping yang dimainkan oleh pemainnya, sepertti kendang, saron, gamelan, dan gong.
Pada mulanya penari nampak lemah gemulai dalam menggerakkan badan, namun seiring waktu berjalan para penari menjadi kerasukan roh halus . Karena kerasukan para penari kuda lumping hampir tidak sadar terhadap apa yang diperbuatnya. Gerakan tariannya pun mulai tidak teratur, pada kondisi ini lah kata jathilan itu tergambar, “jaranne jan thil-thillan tenan (kudanya benar-benar berjoget tak beraturan)”.
Dalam suatu pertunjukkan kesenian kuda lumping selain para penabuh gamelan dan parias yang tidak boleh ketinggalan adalah pawang, yaitu sosok yang memiliki peran serta tanggung jawab yang mengendalikan jalannya pertunjukan dan menyembuhkan para penari yang kerasukan.
Penari kuda lumping grup Kencono Budoyo adalah salah satu kesenian tradisional yang ada di DesaWono Sari yang dalam perkembangannya banyak mendapatkan tanggapan yang beragam dari masyarakat Desa Wono Sari baik itu positif maupun negatif.
Kesenian tari kuda lumping Kencono Budoyo dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua sesi yaitu, siang dan malam. Pada siang hari pukul 14.00 WIB hingga pukul 17.30 WIB, dan pada malam hari mulai pukul 20.30 WIB hingga pukul 00.00 WIB. Tata cara pementasan melalui pembukaan, acara inti dan penutup.
Kuda lumping grup Kencono Budoyo diadakan dua minggu sekali setiap malam sabtu sebagai hiburan masyarakat desa Wono Sari, dan juga kuda lumping diadakan pada saat acara khitanan sunat rasul, resepsi pernikahan, hari kemerdekaan, turun tanah sesuai dengan izin dari yang memiliki acara.
Dengan adanya kuda lumping di desa Wono Sari memunculkan berbagai persepsi dari masyarakat desa Wono Sari. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat antara lain,masih memegang teguh adat istiadat, desakan ekonomi, ekisistensi kesenian tradisional kuda lumping, dan kondisi sosial masyarakat.
Faktor-faktor itu memunculkan adanya beberapa persepsi dari masyarakat, yaitu persepsi positif dan negatif. Persepsi positif dari masyarakat antara lain: menjadi daya tarik tersendiri sebagai hiburan dan kesenian, sedangkan untuk persepsi negatifnya, mengundang syaitan dan tidak sesuai dengan tujuan awal didirikannya grup kuda lumping.