Haba Nusantara.net— Di tengah langit mendung Banda Aceh, suara nyaring perlawanan sipil kembali menggema dari Taman Ratu Safiatuddin.
Aksi Kamisan Aceh, yang konsisten digelar setiap Kamis, hari ini menyuarakan penolakan tegas terhadap rencana pembangunan empat batalyon militer di provinsi bekas daerah konflik itu.
Di bawah bayang-bayang damai yang masih rapuh pasca MoU Helsinki, puluhan aktivis, mahasiswa, dan masyarakat sipil berkumpul dengan satu pesan: jangan lukai Aceh dengan bayangan loreng.
“Pembangunan 4 batalyon di tanah Aceh adalah bentuk pengingkaran terhadap semangat damai. Kami tidak butuh peluru dan seragam loreng, yang kami butuh adalah ruang pendidikan yang layak, pelayanan kesehatan yang manusiawi, dan lapangan kerja bagi anak muda Aceh,” pekik salah satu orator, mengundang gemuruh tepuk tangan dari kerumunan massa.
Para peserta aksi menilai kehadiran militer dalam jumlah besar bukan hanya tidak relevan dengan kebutuhan mendesak masyarakat Aceh, namun juga berpotensi menebar trauma lama yang belum benar-benar pulih.
“Ini bukan sekadar soal pembangunan fisik, tapi soal arah politik pembangunan. Apakah pemerintah masih berpikir pendekatan keamanan adalah solusi bagi Aceh?” ujar seorang akademisi yang ikut dalam aksi, sembari membawa poster bertuliskan “Sekolah dan Klinik, Bukan Barak dan Senapan.”
Mereka menyoroti bahwa rencana pembangunan lima batalyon baru—empat di antaranya di daratan Aceh dan satu di wilayah kepulauan—tidak memiliki dasar urgensi yang rasional di tengah kebutuhan rakyat akan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan pengentasan kemiskinan.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan bersama, Aksi Kamisan Aceh menyampaikan tiga tuntutan utama:
1. Membatalkan pembangunan lima batalyon militer di Aceh.
2. Mengalihkan prioritas anggaran kepada sektor pendidikan dan kesehatan.
3. Menjalankan program pengentasan kemiskinan yang adil dan menyentuh masyarakat pedalaman serta daerah pasca-konflik.
Peserta aksi juga mengingatkan bahwa keberadaan militer secara masif akan mempersempit ruang sipil dan mencederai kepercayaan publik terhadap proses rekonsiliasi.
“Apakah kita akan membesarkan anak-anak Aceh dengan ketakutan yang sama seperti generasi sebelumnya?” tanya seorang aktivis perempuan, matanya menatap tajam ke arah kamera media.
Aksi Kamisan tidak sekadar menjadi kanal protes. Ia telah menjelma sebagai ruang ingatan kolektif dan perlawanan moral warga Aceh terhadap arah pembangunan yang dinilai menyimpang dari semangat keadilan dan perdamaian.
Mereka menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat untuk tidak tinggal diam.
“Aksi ini akan terus berlanjut. Kami butuh lebih banyak suara, lebih banyak keberanian, untuk mengatakan bahwa Aceh tidak butuh lebih banyak senjata—tapi lebih banyak harapan,” ujar koordinator aksi menutup orasi.
Dengan narasi yang tajam namun terukur, Aksi Kamisan hari ini menjadi cermin kegelisahan rakyat Aceh: bahwa keamanan sejati tidak lahir dari barak militer, melainkan dari sekolah yang terbuka, rumah sakit yang layak, dan perut rakyat yang tak lagi kosong.[]