Habanusantara II Aceh Timur_Malam itu, Aceh Tamiang gelap gulita. Tidak ada cahaya lampu, tidak ada suara kendaraan, hanya bau busuk yang menusuk dan puing-puing bangunan yang berserakan di sepanjang jalan. Ilham Zulfikar berdiri terpaku. Di hadapannya, ratusan rumah hancur, kayu-kayu gelondongan menumpuk, dan sebuah mobil tangki bermuatan sekitar 20 ton terangkat serta tersangkut di atas truk Fuso—jejak keganasan banjir bandang yang baru saja meluluhlantakkan wilayah itu.
“Ini seperti kota zombie,” ucap Ilham lirih.
Baginya, Aceh Tamiang malam itu bukan sekadar daerah terdampak bencana, melainkan kota mati.
Ilham adalah kontributor tvOne Aceh, jurnalis muda yang juga menjadi korban banjir. Rumah tempat tinggalnya terendam air. Listrik padam. Akses komunikasi nyaris tak ada. Namun di tengah situasi itu, ia tetap memikul satu tanggung jawab: menyampaikan apa yang dialami masyarakat.
Sejak banjir melanda, Ilham telah menjalani peliputan selama 12 hari penuh di wilayah Aceh Timur. Ia menyaksikan langsung bagaimana banjir melumpuhkan kehidupan warga, memutus akses jalan, menghentikan aktivitas ekonomi, dan memaksa ribuan orang bertahan dalam keterbatasan.
Di tengah peliputan tersebut, ia menerima kabar yang membuat hatinya bergetar. Warga di Kabupaten Aceh Tamiang disebut-sebut sudah tujuh hari tidak menerima bantuan apa pun.
“Begitu mendengar itu, saya tahu saya harus ke sana,” katanya.
Tanpa fasilitas memadai, tanpa kepastian akses, Ilham memutuskan bergerak. Saat itu, ia sudah memasuki hari ke-14 berada di lapangan. Perjalanan menuju Aceh Tamiang bukan perkara mudah. Jalan rusak, jembatan putus, dan komunikasi nyaris mustahil dilakukan. Namun tekadnya satu: melihat langsung kondisi warga.
Apa yang ia temukan jauh melampaui bayangan.
Saat malam tiba, suasana Aceh Tamiang terasa mencekam. Bau bangkai dan lumpur bercampur menyelimuti udara. Puing-puing bangunan berserakan, kayu gelondongan menutup jalan, dan sisa-sisa kehidupan terlihat di antara kehancuran. Ratusan rumah porak-poranda. Tangisan warga sesekali terdengar, sebagian panik, sebagian histeris.
“Tidak ada makanan. Tidak ada air bersih. Semua akses putus,” ujar Ilham.
Wilayah itu benar-benar terisolasi. Tidak ada suplai logistik, tidak ada bantuan yang masuk. Warga bertahan dengan apa yang tersisa, sementara rasa takut dan kelelahan terus menghantui.
Ironisnya, di saat melaporkan penderitaan orang lain, Ilham sendiri sedang berjuang sebagai korban bencana. Rumahnya terendam, keluarganya terdampak, dan ia harus mengandalkan sarana seadanya untuk bertahan sekaligus bekerja.
Namun baginya, jurnalisme bukan sekadar pekerjaan. Ia adalah panggilan nurani.
“Saya juga korban. Tapi masih banyak warga yang kondisinya jauh lebih parah. Kalau tidak diliput, siapa yang tahu mereka sedang menderita?” katanya.
Dengan peralatan terbatas dan risiko keselamatan yang tinggi, Ilham terus merekam, mencatat, dan melaporkan. Ia ingin dunia tahu bahwa ada wilayah yang nyaris terhapus dari peta perhatian—bahwa Aceh Tamiang saat itu benar-benar seperti kota mati.
Kisah Ilham Zulfikar adalah potret keteguhan seorang jurnalis di tengah bencana. Ia bukan sekadar saksi, tetapi bagian dari tragedi itu sendiri. Di antara lumpur, gelap, dan kehancuran, ia memilih tetap berdiri, mengangkat kamera, dan menyuarakan kenyataan.
Karena di tengah bencana, kebenaran tetap harus disampaikan—meski dengan langkah tertatih dan hati yang ikut terluka




















