Habanusantara.net, Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Marlina Muzakir, tak kuasa menahan air mata saat menapakkan kaki di sebuah gubuk reot milik Rudi (43), warga Gampong Me Merbo, Kecamatan Tanah Pasir, Aceh Utara.
Di tengah hamparan tambak ikan, rumah berdinding papan lapuk dan anyaman bambu itu nyaris roboh, menjadi satu-satunya tempat berteduh bagi Rudi, istrinya Nilawati (41), dan ketiga anak mereka dari terik matahari dan guyuran hujan.
Gubuk itu lebih mirip bangunan darurat yang terabaikan. Lantainya masih tanah keras. Atap dari daun nipah penuh lubang, ditambal seadanya dengan spanduk plastik bekas.
Tidak ada aliran listrik. Di dalamnya, hanya ada satu dipan kayu dengan kasur tipis dan tikar plastik lusuh. Di samping tempat tidur, sebuah nampan kecil berisi sisa nasi putih tanpa lauk.
Saat Marlina melangkah ke dapur, seekor ayam yang tengah mengeram terbang panik keluar lewat atap bocor, seolah menunjukkan rapuhnya bangunan yang nyaris tak layak disebut rumah.
“Sudah sepuluh tahun saya merantau dari Kuala Simpang ke sini,” ujar Rudi dengan suara bergetar. Ia bekerja sebagai penjaga tambak milik warga Lhokseumawe dan diizinkan membangun rumah di atas tanah tersebut. Namun waktu yang berjalan dan keterbatasan ekonomi membuat rumah itu hancur pelan-pelan.
“Gampong bukan tidak membantu,” katanya lirih. “Sudah banyak upaya, tapi karena tidak ada lahan milik pribadi, bantuan rumah pun tidak bisa dibangun.” Baru-baru ini, kata Rudi, ada lembaga yang memberikan dana untuk membeli sebidang tanah baru bagi keluarganya.
Kondisi itu membuat Marlina tak mampu menahan haru. Ia menghampiri Nilawati dan memeluknya erat. “Yang sabar ya, Bu. Insya Allah, pemerintah akan membantu membangun rumah untuk keluarga ini,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Kunjungan tersebut, menurut Marlina, adalah bentuk nyata komitmen Pemerintah Aceh untuk melihat langsung kehidupan masyarakat, khususnya mereka yang paling membutuhkan uluran tangan. Ia menegaskan bahwa perhatian seperti ini tak boleh hanya berhenti pada laporan dan angka di atas meja.
“Doakan kami selalu diberi kekuatan untuk terus turun ke rumah-rumah seperti ini,” katanya sambil menyalami Rudi yang menunduk penuh syukur.
Sebelum berpamitan, Rudi hanya mampu mengucap lirih, “Saya doakan Ibu dan Bapak selalu sehat.” Kata-kata yang keluar dari hati seorang ayah yang selama ini diam-diam menahan beban hidup, kini menemukan celah untuk berharap.
Perjalanan Marlina dan rombongan kemudian berlanjut ke Gampong Blang Pala, Kecamatan Bandar Baru, Aceh Utara. Di sana, pasangan lansia M. Ali dan Maisarah menyambut dengan penuh haru. Rumah sederhana mereka berdiri di atas lahan pribadi, namun kondisinya tak jauh berbeda dengan milik Rudi.
Maisarah langsung menangis saat Marlina memasuki rumahnya. Di wajahnya tergambar kekhawatiran besar, bukan soal dirinya, melainkan soal masa depan anaknya, M. Fakhri, yang akan segera menikah.
“Bagaimana tidak menangis… bagaimana mau membawa pulang menantu,” ujarnya lirih, sembari menunjuk sudut rumah tempat kelambu usang dibentangkan sebagai tempat tidur anaknya.
Marlina kembali menunjukkan empatinya. Ia merangkul Maisarah, menenangkannya, dan berjanji akan mengupayakan bantuan rumah layak huni bagi keluarga itu.
Sebelum berpisah, Marlina sempat meminta doa dari Maisarah untuk kesehatan dirinya dan Gubernur Aceh. Permintaan itu dijawab Maisarah dengan pelukan penuh syukur dan deraian air mata. Pelukan dua perempuan yang dipertemukan oleh empati dan harapan—pelukan yang merekatkan harapan untuk hidup yang lebih manusiawi.
Kini, keluarga Rudi dan keluarga Maisarah memandang masa depan dengan cahaya baru. Harapan yang sebelumnya hanya tersimpan dalam doa, perlahan mulai menemukan bentuk nyata: rumah yang lebih layak, hidup yang lebih bermartabat.[]